Rabu, 20 April 2011

ANALISIS TEORI PEMBANGUNAN PASCA ERUPSI MERAPI
Oleh
SELVI DIANA MEILINDA
Pascasarjana MKP FISIPOL UGM 2010

PENDAHULUAN

Pembangunan erat kaitannya dengan masalah kemiskinan.  Pembangunan dianggap sebagai alternatif pemecahan masalah untuk keluar dari kemiskinan. Dengan berbagai pendekatan dan teori, seperti modernitas, strukturalis, sampai pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menawarkan berbagai penawar kemiskinan. Oleh karenanya ada yang menganggap pembangunan sebagai salah satu dari teori perubahan sosial, sebagaimana yang dikemukakan oleh Mansour Fakih (2001). Fenomena pembangunan mendominasi dan mempengaruhi pikiran umat manusia secara global karena menjanjikan harapan baru untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan (Fakih:2001.hal 11). 
Dalam konteks pembangunan daerah, kemiskinan bisa  dijadikan alat ‘kendaraan politik’ untuk meningkatkan candu kepercayaan dari masyarakat. Pemerintah daerah memanfaatkan kemiskinan untuk menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan baik dari segi kuantitas ataupun sebaliknya. Tinggi rendahnya angka kemiskinan sering kali menjadi harga mati penilaian kinerja  pemerintah daerah. Oleh karenanya, pemerintah daerah berupaya meyakinkan publik bahwa tingkat kemiskinan mereka tidak mengalami kenaikan atau relatif stabil dari segi kuantitas.  

PEMBAHASAN
1.        Mengurai Kemiskinan dengan Teori Ketergantungan
Artikel ‘menguraikan kemiskinan paska bencana merapi’ yang di tulis oleh Farsijana Adeney Risakotta ini membahas mengenai cara mengidentifikasi kemiskinan pasca bencana. Ada beberapa yang menjadi catatan, pertama, adanya perbedaan cara pandang antara pemerintah daerah dengan kaum teknokratis mengenai kemiskinan. Seperti yang di sebutkan bahwa Pemda Sleman memungkiri adanya peningkatan kemiskinan seperti pernyataan Wakil Bupati Pemda Sleman bahwa bencana merapi tidak berpangaruh terhadap peningkatan signifikan jumlah warga miskin di wilayahnya (Antara:2010 dalam Risa Kotta :2011). Sedangkan Prof. Mudrajat Kuncoro Ph.D selaku ketua tim pemulihan ekonomi dari ISEI menyatakan bahwa pembangunan ekonomi paska erupsi merapi memerlukan paling sedikit 4 tahun terhitung dari tahun 2011 sd 2014 (KR, 2/11/2010 dalam Risakotta:2011). Dari kedua pandangan tersebut, mengidikasikan bahwa Pemda mengidentifikasi masalah kemiskinan secara kuantifikasi sementara kalangan lain memandang dari segi kemampuan masyarakat tersebut. Seperti meyakinkan publik bahwa Pembangunan tak runtuh begitu saja oleh bencana alam. Kedua, memahami bahwa kemiskinan itu bersifat kompleks sehingga mengidentifikasi dampak kemiskinan secara makro.
Ketiga, kemiskinan di daerah khususnya di Pemda Sleman terjadi secara tidak merata, mengindikasikan pembangunan juga tak merata ke semua kalangan masyarakat baik tingkat dusun, desa, kecamatan dan kabupaten, terlebih lagi tingkat nasional. Pasca Erupsi jumlah penduduk miskin mengalami pertambahan jumlah penduduk miskin. Semula dari sebanyak 1.285.315 jiwa (BPS, 2010) jumlah penduduk Kabupaten Sleman dimana jumlah orang miskin 295.366 jiwa (22,98%) maka pasca erupsi Merapi jumlah orang miskin diperkirangan mencapai 337.015 jiwa (26,22%) pada akhir 2010 nanti. (http://pyandri.wordpress.com/2010/11/11/bencana-alam-dan-kemiskinan/).
Kenaikan jumlah masyarakat miskin ini perlu mendapat perhatian khusus. Warga yang semula tidak masuk dalam kelompok masyarakat miskin, pasca erupsi Merapi, kelompok ini akan menjadi kelompok miskin baru karena sumber daya yang semua dimiliki rusak dan hilang. Pelayanan sosial dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan dan fasilitas olah raga/ area publik, ketiganya mengalami peningkatan kepuasan yang menonjol. Dukungan ekonomi dasar yakni penyediaan fasilitas pasar dan program Pemda yang khusus ditujukan untuk mengembangkan ekonomi lokal; sekaligus mengentaskan kemiskinan menunjukkan adanya peningkatan kepuasan masyarakat atas pelayanan tersebut.
Keempat, pentingnya program pemberdayaan masyarakat pasca bencana di tingkat pedusunan untuk mempercepat pemulihan kehidupanmasyarakat paska erupsi merapi.   Dalam upaya penanggulangan kemiskinan terkait dengan program khusus juga mengalami peningkatan yang besar. Hasil survey tentang upaya Pemda dalam  memfasilitasi dan dukungannya terhadap masyarakat miskin dan upaya pengentasan kemiskinan secara umum menunjukkan adanya peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap upaya tersebut. Kerugian bisa dihitung dari program-program penangulangan kemiskinan yang tidak bisa dijalankan saat terjadi bencana. Pemulihan terhadap kelompok masyarakat miskin yang selama ini mampu dilakukan oleh program penanggulangan kemiskinan membutuhkan jangka waktu panjang terutama untuk mengembalikan aset penghidupan yang selama ini menjadi tumpuannya.
Ketergantungan Masyarakat (Pendekatan Struktural)
Bencana alam erupsi merapi jika di lihat secara makro, banyak masyarakat yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung, baik itu korban jiwa, psikologis, ataupun ekonomi. Tidak sedikit dari korban yang kehilangan pekerjaan yang berakibat pada perekonomian wilayah dan mengakibatkan lumpuhnya roda perekonomian di beberapa daerah. Selain itu, anak-anak belum bisa bersekolah secara normal, jasa wisata terhenti, koperasi berpotensi mengalami kesulitan likuiditas, dan pelayanan publik seperti penerbangan pesawat terganggu. Sebanyak 286 warga tewas, 311 harus dirawat di rumah sakit, dan ribuan ternak mati (SlemanKab:2011). Sementara ribuan hektar lahan pertanian hancur, hutan lindung dan hutan masyarakat dalam skala ribuan hektar juga telah hangus oleh awan panas. Selain itu, ekosistem lereng selatan Merapi mengalami perubahan bentuk yang sangat radikal akibat daya jangkau awan panas yang mencapai 15 kilometer dari puncak.
Dengan kondisi tersebut, masyarakat yang terkena dampak erupsi merapi menjadi kehilangan akses terhadap kebutuhan dasar, meningkatnya kerentanan akibat terjadinya bencana, menurunnya kapasitas masyarakat, yang tentu saja fungsi dan proses kemasyarakatan atau pemerinthan juga terganggu. Sehingga masyarakat tersebut bergantung pada orang lain, bergantung pada bantuan, bergantung pada para sukarelawan, bergantung pada pemerintah untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi. Sifat ketergantungan akibat ketidakberdayaan semacam ini merupakan inti dari kemiskinan (Risakotta:2011).

Ketergantungan merupakan keadaan dimana kehidupan ekonomi daerah-daerah tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi daerah-daerah  lain, dimana daerah tertentu hanya berperan sebagai akibat saja (diadaptasi dari Theotonio Dos Santos dalam Budiman:2000). Ketergantungan yang tampak jelas dapat terlihat tingginya jumlah pengungsi di berbagai barak penampungan. Para pengungsi merupakan objek penerima bantuan, sorotan publik untuk menyalurkan bantuan dan melatih dalam program pemberdayaan. Walaupun mereka masih memiliki reruntuhan rumah, hamparan tanah hak milik, akan tetapi mereka tidak bisa mengakses itu semua. Oleh karenanya, masuk akal kiranya jika para pengungsi tersebut dikategorikan sebagai variabel kemiskinan di Sleman paska erupsi merapi.



2.        Kearifan Lokal, Variabel Sustainable Development Paska Erupsi Merapi
Ada beberapa variabel lintas sektoral yang harus diperhatikan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan (Sustainable Development), diantaranya tataguna lahan, potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup termasuk didalamnya taman nasional Gunung Merapi,  relasi gender termasuk didalamnya perlindungan kelompok rentan,  tata kelola pemerintahan, keamanan dan ketertiban, pengurangan risiko bencana meliputi peta risiko (peta ancaman, kerentanan, dan kapasitas) dan kearifan lokal. Salah satu yang harus diperhitungkan adalah kearifan lokal, karena memusatkan potensi-potensi lokal masyarakat sebagai bagian utama dalam menjalankan roda pembangunan. Potensi lokal adalah sebuah keunggulan yang hidup dan berkembang di masyarakat tersebut dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Potensi-potensi tersebut terekam oleh masyarakat secara turun temurun. Rekaman inilah yang disebut kebudayaan.

Dalam konteks masyarakat Sleman maupun wilayah lainnya, kearifan lokal masyarakat akan selalu hidup dan berkembang. Perkembangan ini merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan alam. Disinilah peran penting kearifan lokal dalam rangka mengawal pembangunan, dimana pembangunan tersebut benar-benar membumi dan menempatkan masyarakat pada pusat pembangunan. Potensi tersebut telah disebutkan pada sektor-sektor terkait baik permukiman maupun perumahan, ekonomi, dan sosial budaya. Kearifan lokal penting untuk didorongkan dan dipastikan masuk dalam setiap aspek pembangunan, dan output dari akivitas ini adalah masyarakat yang sadar dan paham secara penuh atas pembangunan yang terjadi diwilayahnya.

Masyarakat lereng Gunung Merapi masih memegang nilai-nilai kearifan lokal dalam kesehariannya. Salah satunya dengan menjalin hubungan serasi dengan alam yang didasari kepercayaan bahwa antara Gunung Merapi, Keraton dan Pantai Selatan saling terhubung erat satu sama lain. Masyarakat juga meyakini bahwa gunung, sungai, dan pohon bukanlah ‘benda mati’ sehingga manusia wajib menjaga kelestariannya, sejalan dengan prinsip “Hamemayu Hayuning Bawono” dalam pelestarian alam wilayah Yogyakarta (SlemanKab:2011).

Kawasan Lereng Merapi merupakan kawasan yang dicagarkan. Keberadaan Museum Gunungapi Merapi merupakan bukti bahwa pemerintah tidak sebatas pada komitmen, tetapi lebih dari itu, pemerintah telah menunjukkan perhatian langsung dalam rangka meningkatkan pemahaman akan arti penting Gunung Merapi sebagai tulang punggung hidrologi wilayah DIY dan sekitarnya. Dari sisi peningkatan ekonomi masyarakat sekitar, lokasi museum yang berdekatan dengan sentra budidaya bunga krisan dan sapi perah di Kecamatan Pakem akan memudahkan Pemerintah Kabupaten Sleman untuk memanfaatkan potensi lokal tersebut sebagai materi pendukung obyek wisata museum (
http://www.esdm.go.id/news-archives/56-artikel/2881-museum-gunungapi-merapi-2-mengadopsi-kearifan-lokal.html).

Kekayaan alam masyarakat paska erupsi merapi adalah potensi pasir. Keberadaan penambangan pasir di wilayah Cangkringan dapat dikelola oleh masyarakat secara berkelompok untuk menambah penghasilan masyarakat dari penambangan pasir di wilayahnya. Gubernur juga telah meminta kepada Bupati agar memilih beberapa lokasi penambangan pasir yang khusus untuk dimanfaatkan oleh masyarakat korban bencana untuk pembangunan rumah permanen. Sehingga pengungsi yang ingin membangun rumahnya tidak lagi membeli material pasir.

Selain itu, adanya satu situasi dimana pengungsi yang mengungsikan diri disikapi positif oleh sebagian besar masyarakat Jogja yang bermukim di luar area berbahaya. Masjid, gereja, sekolah, rumah warga, kantor kelurahan, kantor kecamatan, disediakan untuk menampung para pengungsi baru. Warga masyarakat sekitar lokasi pengungsian bahu-membahu membantu sebisa yang mereka lakukan. Karang taruna, ibu-ibu PKK, anggota linmas, bekerja dengan dasar kemanusian dan keikhlasan untuk membantu mereka. Kearifan lokal masyarakat Jogja dengan rasa solidaritas dan jiwa gotong-royong yang masih kental, ternyata sangat membantu dalam situasi darurat semacam ini. Kesadaran masyarakat yang ternyata masih kuat ini memunculkan kekuatan baru yang mungkin sedikit mengurangi penderitaan para pengungsi. Kondisi ini harus segera ditindaklanjuti bersama dengan menjalankan peran dan kewajiban mereka dalam kondisi bencana secara maksimal.

Kelangsungan hidup manusia bergantung pada upayanya untuk melestarikan dan menghargai alam. Manusia dan alam tidak dapat dipisahkan, sisi baik dan buruk
pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa Merapi adalah, selalu ada sisi baik dan sisi buruk dari segala sesuatu. Erupsi merapi menimbulkan kengerian dan ketakutan bagi warga di sekitarnya, tetapi juga memberi harapan akan kesuburan tanah dan membuka kesadaran bahwa manusia bukanlah penguasa alam yang dapat berbuat seenaknya terhadap alam. Manusia dan alam harus berjalan seiring sejalan dalam keharmonisan dan keseimbangan agar masing-masing tidak saling menghancurkan, tetapi saling menghidupi dan melindungi.

Paska erupsi merapi, bukan berarti disekitar merapi tidak ada potensi sama sekali dimana masyarakatnya pasrah pada proses modernisasi (investasi, tahapan pembangunan Rostow, dan pendekatan modernisasi lainnya) dari pihak luar. Sesungguhnya di sekitar merapi masih banyak sekali potensi walaupun ditimpa bencana, seperti lingkungan kawasan hutan dan lahan milik warga, mata air. Dalam kegiatan mitigasi bencana perlu dilakukan dengan cara pendekatan kearifan lokal dan tata ruang, yaitu  disosialisasikan secara intens walaupun gunung merapi dalam keadaan tenang, masyarakat harus tahu bahwa ruang yang mereka tempati rawan bencana. upaya mitigasi dalam penataan ruang dapat dilakukan dengan membuat peta zonasi, pengenalan ruang tersebut terhadap masyarakat,memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai manajemen bencana.

Gunung merapi dianggap sebagai kekuatan spiritual bagi masyarakat Sleman khususnya dan masyarakat Jogjakarta pada umumnya, sehingga perlu menyelaraskan kearifan lokal dengan kebijakan pemerintah. Selain itu, aktivitas sehari–hari mereka selalu berkaitan dengan kawasan lereng merapi seperti menambang pasir, mencari rumput ternak dan berlandang. Pengetahuan masyarakat tentang daerah yang mereka tempati rawan bencana perlu dilakukan sehingga masyarakat dapat berpatisipasi didalam melakukan mitigasi bencana. mereka dapat mengatur ruang yang mereka tempati atau masyarakat dapat menyelaraskan dan hidup berdampingan dengan bencana. Hal lain yaitu mendorong percepatan penyusunan peraturan terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang mempertimbangkan aspek kebencanaan. Dukungan penyediaan infrastruktur sangat penting seperti jalur-jalur evakuasi, rumah sakit, tempat-tempat untuk menyalurkan kebutuhan logistik bagi korban bencana sehingga bantuan tidak terkesan lambat.

Berikut ini ringkasan variabel-variabel yang harus diperhatikan untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan paska erupsi merapi :




Variabel sustainable development
Variabel
Tahapan
 



Pemulihan Awal

Rehabilitasi dan
Rekonstruksi

Variabel Perumahan Sarana Prasarana
·      Persiapan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi
·      Penyediaan tempat tinggal sementara
·      Pembangunan shelter schools shelter kandang, shelter pos pelayanan kesehatan, dan shelter pos keamanan.
·      Kajian tata ruang merapi darurat
·      Sosialisasi permukiman kembali
·      Refungsionalisasi, revitalisasi sarana dan prasarana dasar (jalan/jembatan  ke permukiman, air bersih dan sanitasi, listrik dan komunikasi)
·      Perbaikan rumah rusak ringan
·      Rehabilitasi fungsi pelayanan public
·      Perbaikan kantor-kantor pemerintah
·      Normalisasi sungai-sungai dikawasan rawan bencana.
·      Pembangunan kembali rumah roboh/rusak berat/rusak ringan (sedang) dan prasarana dasar permukiman
·      Memberikan pemahaman mitigasi, kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana bagi masyarakat (masuk bidang pemerintahan)
·      Relokasi permukiman pada daerah rawan bencana
·      Penerapan rancang bangun sesuai peraturan bagi pemulihan prasarana publik
·      Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan publik kepada masyarakat
·      Perencanaan pengurangan risiko bencana dalam kerangka pembangunan daerah
·      Penataan kawasan sesuai zona
·      Permukiman kembali secara mandiri dan penyediaan lahan permukiman
·      Pembangunan dan rehabilitasi sarana prasarana pemerintah, pendidikan, air bersih, dan sarana kesehatan lingkungan
·      Perbaikan sarana dan prasarana dasar (jalan/jembatan, air bersih, irigasi, sarana kesehatan sanitasi, listrik dan komunikasi)
Variabel Ekonomi Masyarakat
·      Identifikasi kebutuhan masyarakat
·      Pemberian bantuan bagi pembangkitan usaha masyarakat
·      Pengelolaan dan Rehabilitasi Kebun dan lahan pertanian yang rusak
·      Rehabilitasi pasar
·      Rehabilitasi lahan secara keseluruhan
·      Pemberian bantuan untuk pemulihan sektor peternakan pada daerah bencana
·      Pemulihan kembali desa wisata di kawasan yang terkena dampak erupsi merapi
·      Peningkatan pembangunan trading house
·      Bantuan permodalan bagi koperasi di daerah bencana
·      Perbaikan sarpras pariwisata, peribadatan, dan perdagangan.
·      Menciptakan kegiatan usaha baru dengan pelatihan UMKM, pemberian alat, modal/kredit lunak, pendampingan dan pemasaran
·      Revitalisasi pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan.
Variabel Sosial Budaya Masyarakat
·      Pengembalian pengungsi
·      Pelayanan sosial kepada masyarakat korban bencana
·      Pemberian jaminan pembiayaan sekolah bagi siswa korban bencana
·      Penyediaan sarana prasarana pendidikan dan kesehatan
·      Pemeliharaan sekolah sementara
·      Pemberian stimulan pengganti jadup : cash for work, PNPM.
·      Pendampingan psikososial dan agama korban bencana
·      Bantuan bahan permakanan di huntara
·      Revitalisasi kegiatan masyarakat
·      Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dengan peningkatan pemahaman tentang pengurangan risiko bencana
·      Fasilitasi sekolah siaga bencana
·      Revitalisasi gugus dan komite sekolah untuk pengurangan risiko bencana
·      Penyiapan sekolah penyangga
·      Pendampingan psikososial dan agama korban bencana
·      Pembangunan kembali sistem sekolah menuju pendidikan yang berkualitas.
·      Penyusunan rencana Kontigensi sektor pendidikan
·      Revitalisasi PAUD
Variabel Lintas Sektor
(kearifan local, gender dan pembangunan,

·      Pemulihan keamanan dan ketertiban masyarakat
·      Pemulihan pelayanan pada masyarakat

Sumber: Bapedda slemankab:2011.

3.      Pendekatan Gender dan Pembangunan Paska Erupsi Merapi
Pendekatan gender dan pembangunan memberikan sumbangan tersendiri pasca erupsi merapi. Hal ini karena penilaian kerugian atas kelompok rentan dihitung berdasar kerugian kelompok perempuan, anak, difabel/cacat dan lansia. Kerugian ini dihitung berdasarkan perlindungan yang selama ini didapatkan dari kelompok rentan.  Kerugian dihitung berdasarkan waktu untuk memulihkan, trauma / ganguan kejiwaan dan penyediaan tenaga pendamping yang dihitung berdasar UMP (upah minimum provinsi) DIY.
Pembangunan manusia ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia tanpa membedakan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Sebagai sumberdaya insani, sebenarnya potensi yang dimiliki perempuan baik dalam kuantitas maupun kualitas tidak jauh berbeda dengan  laki-laki. Meskipun telah banyak kemajuan pembangunan yang dicapai, namun kenyataan menunjukkan bahwa kesenjangan antara laki-laki dan perempuan masih dijumpai. Berdasarkan data Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Gender Empowerment Measurement (GEM) ternyata Kabupaten Sleman menduduki rangking kedua di Propinsi DIY setelah Kota Yogyakarta.
Berdasarkan Perhitungan Indeks Pembangunan Gender (IPG) menunjukkan bahwa pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 mengalami kenaikan sebesar 0,8 yaitu pada tahun 2004 sebesar 72,7, tahun 2005 sebesar 72,9, tahun 2006 sebesar  72,9, dan pada tahun  2007 sebesar 73,5, sedangkan Gender Empowerment Measurement (GEM) mengalami penurunan yaitu sebesar 0,4 yaitu pada tahun 2004 sebesar 63,2, tahun 2005 sebesar 63,0, tahun 2006 sebesar 62,7 dan tahun 2007 sebesar 62,8 (IPG BPS:2006). Indeks pemberdayaan  perempuan  menunjukkan masih adanya kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam mengakses pendidikan, berpartisipasi di bidang politik, dalam menduduki jabatan publik, dalam ketenagakerjaan, dan dalam pendapatan.
Tabel I. Data  Indeks Pembangunan Gender
No
Kabupaten
Tahun
2004
2005
2006
2007
1
Kulon Progo
51,9
52,7
65,1
65,4
2
Bantul
67,0
68,7
70,3
70,3
3
Gunung Kidul
60,1
61,0
62,9
64,1
4
Sleman
72,7
72,9
72,9
73,5
5
Kota Yogyakarta
75,7
75,8
76,1
76,2
Sumber Data : Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005 dan 2006, Kerjasama BPS dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (SlemanKab:2011).



Tabel 2. Data Indeks Pemberdayaan Perempuan
No
Kabupaten
Tahun
2004
2005
2006
2007
1
Kulon Progo
47,5
47,5
59,8
60,1
2
Bantul
60,7
61,7
63,3
63,6
3
Gunung Kidul
56,1
54,6
56,4
57,8
4
Sleman
63,1
63,0
62,7
62,8
5
Kota Yogyakarta
73,8
73,8
74,2
74,3
Sumber Data : Pembangunan Manusia Berbasis Gender Tahun 2005 dan 2006, Kerjasama BPS dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (SlemanKab:2011).

Pembangunan manusia difokuskan pada upaya memberdayakan penduduk sehingga mereka memiliki pilihan yang lebih luas dalam menjalani kehidupan. Upaya tersebut dijabarkan melalui akses yang lebih luas bagi penduduk untuk meningkatkan derajat kesehatan, memperoleh pengetahuan dan keterampilan dan peluang untuk menaikkan taraf ekonomi rumahtangga yang pada akhirnya akan mendorong partisipasi mereka dalam pelaksanaan pembangunan.
Ukuran yang umum digunakan untuk menilai kualitas hidup manusia adalah indeks pembangunan manusia (IPM). Dalam kurun 5 tahun terakhir, IPM Kabupaten Sleman selalu meningkat. IPM Kabupaten Sleman meningkat dari  75,57 pada tahun 2005 menjadi 77,63 pada tahun 2009 (angka sementara), atau meningkat rata sebesar 0,51% persen per tahun. Kenaikan ini terjadi pada komponen pembentuk IPM, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan konsumsi riil perkapita, meningkat masing-masing 0,525 tahun; 0,372%; 0 tahun dan Rp1700 pertahun selama periode 2005-2009 (SlemanKab:2011).
Perbandingan antar kabupaten/kota se Indonesia, pada tahun 2007, IPM Kabupaten Sleman menduduki peringkat 15 dari 456 Kabupaten/Kota di Indonesia, yang berarti naik dua tingkat dibanding tahun sebelumnya yang berada diposisi 17 dan sekaligus menempati posisi pertama diantara 363 Kabupaten di Indonesia. Posisi IPM sebesar 76,70 berada dibawah peringkat Kota Yogyakarta yang mampu meraih rangking kedua secara nasional pada tahun 2007 dengan nilai IPM sebesar 78,14. Sedangkan pada tahun 2008 IPM Kabupaten Sleman menempati peringkat 15 dari 477 kabupaten/kota. Hal ini menyiratkan adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Pembangunan manusia melalui pemberdayaan dengan pengembangan kelembagaan sesuai dengat amanat PP Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi perangkat Daerah, Pemerintah Kabupaten Sleman telah menetapkan Perda Nomor 9  tahun 2009 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Penataan kelembagaan  yang akan dicapai adalah untuk mewujudkan organisasi yang fleksibel dan adjustable. Setiap terjadi perubahan termasuk perubahan sistem politik, organisasi tersebut harus siap menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Selain itu bila terjadi perubahan policy dari pemerintah pusat organisasi tersebut harus bersifat fleksibel sehingga menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial maupun kebijakan-kebijakan politik. Dengan pendekatan gender dan pembangunan, maka kebutuhan pemberdayaan ekonomi kepala rumah tangga perempuan, pendidikan untuk perlindungan perempuan dan anak, serta pelatihan keterampilan untuk penyandang cacat dalam rangka pemberdayaan untuk pembangunan sumber daya manusia menjadi cepat terwujud paska erupsi merapi.

PENUTUP
Artikel mengenai mengurai kemiskinan pasca erupsi merapi yang ditulis oleh Risakotta tersebut membantu kita bagaimana mendefinisikan dan mengidentifikasi inti kemiskinan paska bencana. Ketika masyarakat menjadi tidak berdaya dan tidak memiliki apa-apa, akses kebutuhan dasar terbatas, bergantung pada bantuan orang lain, maka ketika itulah mereka terdefinisi dalam variabel kemiskinan yang secara langsung merubah jumlah warga miskin Pemda Sleman. Pendekatan teori ketergantungan dalam pembangunan  inilah yang bisa menjelaskan tentang kemiskinan. Untuk mencapai kesinambungan pembangunan (sustainable development) banyak variabel yang penting diperhatikan, salah satunya adalah kearifan lokal Pemda Sleman seperti potensi pasir, rasa solidaritas, gotong-royong, gunung merapi sebagai potensi spiritual masyarakat, kebudayaan, dan hubungan emosional masyarakat yang pernah menjejak di wilayah bencana. Selain itu, sumbangan pendekatan gender dan pembangunan juga diperlukan dalam rangka pembangunan sumberdaya manusia tanpa membedakan jenis kelamin.



DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fakih, Mansour. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Pustaka Pelajar.   Yogyakarta.
http://pyandri.wordpress.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar