BIROKRASI DALAM MENANGGULANGI BENCANA MERAPI
Sebuah hasil magang di DPKKD Pemkab Sleman
Dalam beberapa tahun terakhir bencana seolah menjadi “teman” setia bagi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Masih terngiang dalam ingatan bagaimana gempa bumi di Kabupaten Bantul melululantahkan hampir sebagian wilayah tersebut. Gempa 27 Mei 2006 di Kabupaten Bantul tersebut berupa gempa bumi berskala 7,8 Ritcher yang mengakibatkan bukan hanya kerugian harta dan benda, melainkan juga korban jiwa. Disusul kemudian meletusnya Gunung Merapi pada tahun yang sama tetapi dalam skala yang kecil. Yang cukup dekat tentu saja peristiwa meletusnya Gunung Merapi pada bulan November kemarin (2010) yang juga mengakibatkan hilangnya harta benda serta jatuhnya korban jiwa termasuk merenggut nyawa Mbah Maridjan sang “penjaga Gunung Merapi”, selain itu bencana ini juga menimbulkan permasalahan yang cukup serius, yaitu munculnya para pengungsi karena rumah mereka hangus terbakar, rusak maupun masuk dalam zona bahaya merapi.
Data Jumlah Pengungsi Per 24 November 2010 Jam 14.00 WIB Lihat http://www.slemankab.go.id/update-data-pengungsi-per-24-november-2010.slm dengan perubahan
| |||||||||||||||||||||||
Jumlah pengungsi yang cukup besar ini membutuhkan upaya dari pemerintah maupun pihak lain dalam upaya pengelolaan serta tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dari para pengungsi ini. Fokus dari tulisan ini nantinya adalah terkait upaya pemerintah kabupaten Sleman dalam proses penanganan tanggap darurat saat bencana tersebut terjadi. Bagaimanapun tugas pemerintah adalah melayani rakyat serta mengatasi berbagai permasalahan publik yang muncul, termasuk dalam hal penanganan bencana. | |||||||||||||||||||||||
Tingginya tuntutan terhadap birokrasi
Kemunculan birokrasi menampilkan sebuah wacana baru untuk menemukan bagaimana sebenarnya tipe birokrasi yang ideal dan memungkinkan untuk dilakukan oleh setiap Negara dalam melaksanakan kehidupannya. Wacana tersebut muncul dan sangat penting untuk dikaji karena birokrasi merupakan instrumen utama yang menggerakkan roda kehidupan sebuah Negara. Ibarat sebuah mobil, birokrasi merupakan sebuah mesin yang menentukan hidup matinya mobil tersebut. Jadi, jika birokrasi di dalam sebuah Negara tidak berjalan dengan baik, maka Negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan nasionalnya (melayani publik).
Pemerintah, yang dalam hal ini memiliki andil paling besar dalam pengelolaan berbagai sumber daya di Indonesia, harus bisa menempatkan situasi di dalam lingkup birokrasi dan mengarahkannya agar berjalan seefektif dan seefisien mungkin. Pemerintah harus bisa merangkum semua keinginan masyarakat menjadi satu dan berusaha untuk memenuhi keinginan tersebut melalui birokrasi dan sistem manajemen yang terbentuk di Negaranya. Namun, tentu saja hal tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Berbagai kepentingan yang ada dan berbagai permasalahan yang sedang berlangsung memaksa keduanya untuk meningkatkan kinerjanya. Birokrasi dituntut untuk mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, kinerja birokrasi dapat dirasakan secara menyeluruh oleh masyarakat Indonesia.
Birokrasi yang pelaksanaannya berdasarkan prinsip-prinsip kehidupan publik, selalu menjadi sorotan sebagai sesuatu yang menanggung citra dari berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Tantangan yang harus dijawab oleh birokrasi adalah bagaimana untuk menyelesaikan berbagai permasalahan publik yang muncul sehingga tidak menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Tingginya tuntutan yang dihadapkan pada birokrasi kerap kali mendatangkan sebuah inefisiensi kinerja yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah. Birokrasi harus bisa mengesampingkan berbagai benturan kepentingan yang ada, dan mengutamakan apa yang menjadi keinginan masyarakat. Semakin banyak dan kompleks permasalahan maupun keinginan yang dihadapi oleh masyarakat, maka semakin tinggi pula tuntutan yang harus dilakukan oleh birokrasi. Birokrasi harus bisa “responsive” di dalam memenuhi kebutuhan rakyat dan efektif dalam melaksanakan kebijakan pemerintah guna memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Salah satu permasalahan yang kemudian menuntut tingginya responsifitas birokrasi adalah bencana alam. Bencana dalam implikasinya selalu membuat proses kehidupan yang sebelumnya normal menjadi tidak normal. Demikian pula dalam proses penanganannya, dengan kehidupan yang berubah menjadi tidak normal, maka membutuhkan solusi yang tidak “normal” pula. Dalam batasan diluar sistem baku yang berlaku. Dengan maksud agar dapat responsif dan cepat untuk mereduksi dampak negatif yang ditimbulkan.
Hal di ataslah yang dalam berbagai konteks menimbulkan problema, terutama jika dikaitkan dengan peran berbagai pihak, terutama birokrasi untuk menanganinya. Banyak sekali kritikan yang dialamatkan pada entitas tersebut, yaitu pada logika birokratis yang cenderung berbelit-belit dan panjang, yang masih sering digunakan dalam penanganan pada kondisi yang sudah tidak normal lagi. Itulah isu yang sering terdengar selama ini, tetapi cerita penanganan bencana tidak selalu bergulat pada permasalahan klasik tersebut, tidak jarang juga terdapat inovasi yang dapat mengeluarkan secara cepat dan tepat dari kondisi ketidaknormalan dan penderitaan yang terjadi.
Potret Kabupaten Sleman : Birokrasi dalam penanganan bencana
Kabupaten Sleman merupakan kabupaten paling utara provinsi Yogyakarta, dengan bentang alam berhadapan langsung dengan pegunungan merapi. Keistimewaan tersendiri di kabupaten sleman dimana keberadaan Gunung Merapi sebagai penghasil PAD di sektor pariwisata (kali urang, kali adem, dll) yang juga menjadikan keuntungan tersendiri bagi masyarakatnya. Disamping itu dampak negatif dari letak geografis kabupaten sleman adalah di balik potensi pariwisatnya, ternyata Gunung Merapi juga bisa memunculkan bencana, yaitu erupsi Gunung Merapi dengan skala intensitas yang cukup tinggi, yaitu 4 tahun sekali, Gunung Merapi memuntahkan materialnya yang tidak sedikit, karena Gunung Merapi merupakan salah satu gunung teraktif di dunia. Kondisi masyarakat yang mayoritas menggantungkan hidupnya pada dunia pertanian lereng merapi dengan komoditas sayuran dan buah-buahan serta menjadi penggiat di berbagai sektor yang bermuara pada pariwisata Gunung Merapi tentu saja sangat
terpengaruh dengan kondisi ini. Sebagian besar dari mereka tentu saja kehilangan bukan hanya mata pencahariannya tetapi juga tempat tinggal sehingga terpaksa menjadi pengungsi.
Hal ini haruslah menjadi perhatian bagi pemerintah Kabupaten Sleman melalui berbagai bentuk kebijakan yang mengedepankan pelayanan publik yang optimal dalam kasus tersebut. Hak-hak masyarakat harus tetap terpenuhi, kebutuhan yang mendesak seperti tempat pengungsian beserta infrastruktur pendukungnya wajib dipenuhi. Untuk memenuhi hal itu semua tentulah pemerintah Kabupaten Sleman tidak sendirian, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun swasta dan masyarakat lain tentu juga akan turut ambil bagian dalam penanganan tanggap darurat bancana Merapi ini. Tetapi bagaimanapun juga upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten Sleman menjadi penting karena berkaitan langsung dengan kondisi penduduk di wilayahnya.
Gambar 1Paradigma siklus bencana
Kajian Darurat
Rencana operasional
Bantuan darurat
Rencana kontingensi
Peringatan dini
Pengkajian
Perencanaan
kesiapan Koordinasi
Manajemen informasi
Mobilisasi sumber pemulihan
mitigasi Keterkaitan nas &int’l
re Rehabilitasi
rencana manajemen
pencegahan rekonstruksi
Pembangunan kembali
Sumber; Pujiono, 2007 dalam Pramusinto (2009: 132)
Gambar 1 menjelaskan bahwa pada saat fase tanggap darurat maka hal yang harus dilakukan adalah melakukan kajian darurat, sejauh mana dampak dari bencana yang ditimbulkan, efek dari bencana seperti apa serta sumberdaya yang dimiliki untuk masa tanggap darurat. Langkah kedua adalah menyusun rencana operasional tanggap darurat, rencana operasional ini mencakup langkah-langkah teknis yang akan dilakukukan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam masa tanggap darurat ini. Idealnya rencana operasional ini juga mencakup pembagian tim, pembagian tugas, jalur koordinasi (tetapi tetap harus flesibel)[1] sehingga masing-masing tahu akan tugasnya dan tidak terjadi tumpang tindih pekerjaan atau malah bantuan yang terpusat di beberapa posko pengungsian saja. Langkah ketiga adalah bantuan darurat, berbagai bentuk bantuan darurat sangat diperlukan bagi pengungsi.
Gambar 2. MODEL PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANAFungsi koordinasi
Fungsi komando
Sumber: Pujiono;2007 dalam Pramusinto (2009: 133)
Pada gambar 2 juga dijelaskan mengenai model penyelenggaraan penanggulangan bencana, pada saat terjadi kondisi darurat menurut Pujiono, 2007 dalam Pramusinto (2009:133) seperti:
1. Kajian kilat
Pemerintah kabupaten Sleman bekerjasama dengan instansi – instansi terkait telah melakukan upaya kajian kilat terhadap bencana erupsi Gunung Merapi beserta dengan proses tanggap darurat bencana ini. Kajian kilat ini mendasarkan pada keadaan kawasan Gunung Merapi dan sekitarnya, kajian ini merupakan salah satu upaya awal untuk menentukan strategi serta lankah berikutnya.
“Iya mas, waktu itu bapak (Bupati Sleman) yang memimpin langsung rapat terkait kajian awal bencana Merapi, dalam pembicaraan itu masing-masing SKPD yang terkait langsung dengan tanggap darurat diminta selalu memantau keadaan dan mempersiapkan dan melakukan tindakan apa saja yang bisa dilakukan”
Wawancara dengan Bu Rini (Sekretaris Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah Kab. Sleman), 2 Desember 2010
2. Penetapan status bencana
Berdasarkan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana, penentuan status keadaan darurat bencana tingkat kabupaten oleh Bupati. Dalam kasus bencana erupsi Merapi, Bupati Sleman melalui Keputusan Bupati Sleman No. 322/Kep.KDH/A/2010 tentang Status Keadaan Darurat Bencana memutuskan status keadaan darurat bencana, yaitu darurat siaga Gunung Api Merapi dan darurat bencana hidrometeorologis. Keputusan Bupati Sleman No. 342/Kep.KDH/A/2010 tentang perpanjangan status keadaan darurat bencana Gunung Api Merapi. Keputusan Bupati Sleman No. 350/Kep.KDH/A/2010 tentang perpanjangan kedua status keadaan darurat bencana Gunung Api Merapi. Keputusan Bupati Sleman No. 355/Kep.KDH/A/2010 tentang perpanjangan ketiga status keadaan darurat bencana Gunung Api Merapi. Penetapan Status bencana oleh Bupati dalam bentuk SK tersebut sangat penting dilakukan, karena dengan begitu terdapat dasar hukum bagi setiap SKPD yang ditunjuk maupun tim penanganan bencana melakukan apa yang seharusnya dapat dilakukan.
3. SAR
Salah satu upaya yang harus dilakukan pada saat terjadi proses tanggap darurat adalah melakukan proses evakuasi korban. Proses evakuasi ini menjadi penting untuk meminimalisir bertambahnya korban bencana merapi. Selain itu proses evakuasi juga termasuk mencari kemungkinan adanya korban jiwa saat terjadi bencana. Upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten Sleman serta bekerjasama dengan berbagai pihak juga telah mengupayakan hal ini. Meskipun medan yang harus dilalui saat itu juga cukup berat pasca meletusnya Gunung Merapi dan masih di bawah ancaman setiap saat Gunung Merapi bisa meletus, tapi tim SAR tetap berupaya mencari korban baik yang sudah meninggal maupun yang masih terdapat kemungkinan selamat, tentunya dengan tetap mempertimbangkan safety dan perhitungan yang matang.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman jumlah korban bencana erupsi Gunung Merapi kembali bertambah. Sampai dengan tanggal 2 Desember 2010 jumlah korban meninggal mencapai 277 orang[2]. Bertambahnya data korban meninggal ini diantaranya merupakan hasil evakuasi di lokasi bencana erupsi Merapi dan juga dari barak pengungsian yaitu adanya warga pengungsi yang meninggal dunia baik itu meninggal karena sakit maupun meninggal karena usia lanjut.
4. Pemenuhan kebutuhan dasar
Pemerintah Kabupaten Sleman mengalokasikan Rp 4.404.158.474,92 yang bersumber dari anggaran belanja tak terduga APBD Tahun 2010 (Perbup No. 28 Tahun 2010 Pasal 1) untuk memenuhi berbagai kebutuhan terkait masa tanggap darurat. Korban bencana Gunung Merapi yang menjadi pengungsi di berbagai tempat tentu saja memilki kebutuhan mendesak (primer) yang harus dipenuhi. Pada saat kondisinya ideal, mereka masih punya pekerjaan dan bisa tinggal di rumah mereka sendiri, otomatis kebutuhan dasar ini bisa dipenuhi oleh mereka sendiri dengan usaha mereka. Tetapi saat kondisi tidak ideal (bencana) seperti ini, mereka tidak punya penghasilan bahkan untuk membawa perbekalanpun mereka terkadang tidak bisa karena waktu itu mungkin sangat panik dan nyawa lebih penting daripada harta benda. Hal ini lah yang menjadi tugas bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar (makan, pakaian, tempat tinggal sementara) bagi para korban bencana tesebut. Pemerintah disini tentunya terdiri dari berbagai macam unsur, mulai dari pemerintah pusat, provinsi DIY sampai Kabupaten Sleman. pemerintah disini juga dibantu oleh berbagai pihak untuk bersama-sama memenhi kebutuhan pengungsi. Tetapi tetap pihak yang paling bertanggung jawab adalah pemerintah karena bagaimanapun juga pemerintah wajib melayani warganya termasuk dalam kondisi darurat pada saat bencana seperti ini.
Upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten Sleman yang pertama adalah memenuhi tempat tinggal sementara bagi para korban bencana, pemerintah kabupaten dibantu dengan segenap unsur yang lain telah menyediakan berbagai tempat pengungsian. Tetapi yang terjadi di lapangan memang tempat pengungsian yang disediakan tidak bisa memberikan rasa nyaman bagi pengungsi, mulai dari masalah sempitnya tempat pengungsian dan terkadang tidak tersedianya pasokan air di tempat itu menjadi masalah tersendiri. Masalah pakaian, banyak pihak yang juga ikut menyediakan bantuan ini sehingga untuk pakaian tidak terlalu banyak masalah, masalah yang terjadi adalah masalah selera pengungsi terhadap bantuan pakaian tersebut sesuai atau tidak dengan keinginan mereka. Masalah urgen yang selanjutnya adalah masalah makanan (logistik), masalah makanan juga seringkali dikeluhkan, yang menjadi catatan adalah masalah pemerataan bantuan makanan ini. Antara satu tempat dengan tempat lainnya terkadang terdapat perbedaan yang terkadang cukup mencolok, di tempat pengungsian Stadion Maguwoharjo makanan malah sampai terbuang-buang, tetapi di beberapa sekolah yang juga menjadi tempat pengungsian sementara malah kekurangan makanan.
5. Perlindungan kelompok rentan
Kelompok rentan dalam kasus ini adalah korban bencana Merapi yang memiliki keterbatasan. Keterbatasan disini maksudnya adalah keterbatasan dari segi fisik (cacat fisik, usia senja), anak-anak ataupun perempuan tentunya harus mendapat perlindungan yang lebih dan utama karena mereka lebih rentan terhadap kondisi darurat ini. Hal ini lah yang menjadi catatan dalam masa tanggap darurat bencana merapi kemarin, memang pemerintah Kabupaten Sleman menyediakan cukup banyak tempat pengungsian, tetapi hal yang kurang mendapat perhatian adalah membaurnya semua pengungsi menjadi satu tempat. Hal ini dikeluhkan beberapa ibu-ibu yang mempunyai anak kecil, bagaimanapun anak kecil akan terpengaruh baik secara psikis karena berbaur dengan berbagai macam kalangan pengungsi (berbagai umur) dengan variasi polah tingkahnya maupun terpengaruh dari sisi kesehatan karena banyak bapak-bapak maupun lelaki yang merokok di tempat pengungsian.
6. Pemulihan sarana kunci
“kita akan membangun 345 shelter untuk korban dari umbulharo, kepuh harjo, dan glagah harjo, “ujar Gubernur DIY Sri Sultan HB X dalam wawancaranya saat penyembelihan hewan kurban”. Setiap shelter memiliki luas 28 meter persegi, terdiri dari dua kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan ruang tengah.[3]
Ini menunjukkan reaksi pemerintah daerah sleman dan pemerintah provinsi DIY untuk mengatasi permasalahan tempat tinggal pengungsi, dimana kita ketahui tempat tinggal asli mereka yang telah hilang maupun berada pada kawasan rawan bencana merapi. Pembangunan shelter ini selain sebagai hunian sementara, juga dimaksudkan sebagai tempat memulai kembali roda perekonomian korban merapi. Selain itu akses jalur evakuasi yang sempat rusak karena erupsi merapi juga tidak luput dari perbaikan agar memperlancar mobilitas warga maupun relawan.
Pemerintah Kabupaten Sleman dalam masa tanggap darurat ini juga membentuk komando tanggap darurat bencana Gunung Merapi (Perbup No 29 Tahun 2010 diperbarui dengan Perbup No. 31 Tahun 2010), pembentukan komando tanggap darurat ini untuk efektifitas dan kelancaran pelaksanaan penanganan tanggap darurat bencana, serta dalam rangka mengendalikan kegiatan operasional penanggulangan bencana Gunung Merapi. Sedangkan tugas pokok dari komando tanggap darurat ini sendiri menurut pasal 3 Perbup No. 29 Tahun 2010 yaitu:
1. Merencanakan operasi penanganan
2. Mengajukan permintaan kebutuhan konsumen
3. Melaksanakan dan mengkoordinasikan pengerahan sumberdaya untuk penanganan tanggap darurat bencana secara cepat, tepat, efesiensi dan efektif
4. Melaksanakan pengumpulan informasi sebagai dasar perencanaan komando Tanggap Darurat Bencana
5. Menyebarluaskan informasi mengenai kejadian bencana dan penanganannya kepada media massa dan masyarakat luas
Komando Tangga Darurat bencana memiliki fungsi untuk mengkoordinasikan, mengintegrasikan dan mensinkronisasikan seluruh unsure dalam organisasi komando tanggap darurat untuk penyelamatan dan evakuasi korban bencana, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan pengurusan pengungsi, penyelamatan dan pemulihan sarana dan prasarana dengan segera pada saat kejadian bencana.
Kebijakan yang penulis pikir juga cukup bagus adalah menempatkan tim piket di tempat-tempat pengungsian secara bergiliran. Tim piket ini merupakan perwakilan dari beberapa SKPD yang bertujuan untuk memantau secara langsung, berkoordinasi dengan berbagai pihak, serta memutuskan secara cepat hal-hal yang diperlukan yang menjadi kewenangannya. Tentunya hal ini sangat baik sehingga tidak ada “penghalang” bagi birokrasi untuk bersikap responsif saat terjadi kondisi darurat. Hal ini juga memberi diskresi yang luas bagi anggota birokrasi untuk bersikap dan bertindak.
Kesimpulan
Jadi disini dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kabupaten Sleman telah cukup responsif dalam masa tanggap darurat bencana Gunung Merapi. Melihat realita yang telah terjadi di lapangan terlihat bagaimana upaya keras bukan hanya dari berbagai kalangan, tetapi juga pemerintah Kabupaten Sleman sendiri dalam setiap penanganan masa tanggap darurat ini. Kebijakan-kebijakan yang diambilpun tidak lagi harus terpaku pada hal-hal yang telah menjadi kebiasaan sebelum terjadi bencana, tetapi sudah bisa bersikap seperti yang seharusnya dilakukan (tanggap). Logika birokratis yang cenderung berbelit-belit dan panjang, yang masih sering digunakan dalam penanganan pada kondisi yang sudah tidak normal lagi menjadi terbantahkan dengan upaya Pemerintah Kabupaten Sleman ini. Terdapat inovasi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sleman secara cepat dan tepat dari kondisi ketidaknormalan dan penderitaan yang terjadi. Meskipun masih ada berbagai permasalahan yang terjadi, seperti pemerataan bantuan yang kurang merata atau ketidaknyamanan yang terjadi di tempat pengungsian, tetapi dengan upaya tadi maka rasanya kurang adil juga jika kita men-judge pemerintah Kabupaten Sleman gagal dalam penanganan tanggap darurat bencana Merapi kemarin. Untuk ke depannya karena bencana Merapi adalah sebuah siklus maka tidak ada salahnya upaya preventif yang lebih baik dilakukan demi menekan jumlah korban maupun menciptakan kenyamanan bagi masyarakat. Akhirnya semua hal di atas muaranya adalah bagaimana sebuah birokrasi memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat dalam kondisi apapun, termasuk kondisi bencana.
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Pramusinto, Agus. 2009. Pembangunan dan Reformasi di Bidang Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah dalam Bunga Rampai “Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publk; Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media
Sumber Undang-Undang
Keputusan Bupati Sleman No. 322/Kep.KDH/A/2010 tentang Status Keadaan Darurat Bencana
Keputusan Bupati Sleman No. 322/Kep.KDH/A/2010 tentang Status Keadaan Darurat Bencana
Keputusan Bupati Sleman No. 342/Kep.KDH/A/2010 tentang perpanjangan status keadaan darurat bencana Gunung Api Merapi
Keputusan Bupati Sleman No. 350/Kep.KDH/A/2010 tentang perpanjangan kedua status keadaan darurat bencana Gunung Api Merapi
Keputusan Bupati Sleman No. 355/Kep.KDH/A/2010 tentang perpanjangan ketiga status keadaan darurat bencana Gunung Api Merapi
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Perbup No. 28 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Anggaran Belanja Tak Terduga APBD Tahun Anggaran 2010 untuk Dukungan dan Fasilitasi Penanggulangan Bencana
Sumber Internet
http://metrotvnews.com/metromain/newscat/nusantara/2010/11/22/34631/Sebanyak-705-Shelter-Pengungsi-Merapi-Dibangun diakses 16 Januari 2011
http://www.slemankab.go.id/jumlah-korban-meninggal-bencana-erupsi-merapi-per-tanggal-2-desember-2010-mencapai-277-orang.slm diakses 16 Januari 2010
[1] Mungkin ada antithesis antara jalur koordinasi dan fleksibel, tetapi menurut penulis jalur koordinasi tetap diperlukan karena pada masa tanggap darurat seperti ini akan sering muncul informasi secara cepat dan butuh tindakan secara cepat dan tepat juga, koordinasi diperlukan sebagai pemasok informasi yang paling dapat dipercaya sehingga tidak salah jalan dan tujuannya dapat lepas. Fleksibilitas disini jelas dperlukan karena pada masa tanggap darurat seperti ini seringkali harus diputuskan kebijakan apa yang diambil saat itu juga dan di tempat itu juga.
[2] Lihat, http://www.slemankab.go.id/jumlah-korban-meninggal-bencana-erupsi-merapi-per-tanggal-2-desember-2010-mencapai-277-orang.slm diakses 16 Januari 2010
[3] Lihat, http://metrotvnews.com/metromain/newscat/nusantara/2010/11/22/34631/Sebanyak-705-Shelter-Pengungsi-Merapi-Dibangun diakses 16 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar