Kamis, 21 April 2011

PENGANTAR ILMU KEBIJAKAN PUBLIK
Tugas Matrikulasi Pascasarjana MKP FISIPOL UGM 2010


Gejolak untuk mengembangkan konsep baru Ilmu Administrasi Negara[1] sudah mulai dirasakan  pada akhir tahun 1960 dan awal tahun 1970-an, salah satu tokohnya yaitu Dwight Waldo yang menggegerkan masyarakat sarjana administrasi negara dengan isyaratnya yang terkenal bahwa administrasi negara hidup di zaman yang penuh kekacauan (time of turbulance). Konsepsi  baru ilmu administrasi negara kelihatanya ingin mencoba membuat koreksi dari konsep lama dengan menitik beratkan pandangannya pada apa yang sedang bergejolak dalam masyarakat. Konsepsi baru ini lebih memperkaya interpretasinya terhadap apa yang sedang berlangsung dan terjadi dalam kehidupan ilmu-ilmu sosial dan bagaiamana menerapkan hal-hal tersebut dalam mengatasi persoalan-persoalan administrasi negara. Banyak susunan tata nilai yang amat luas yang dihubungkan dengan konsepsi baru ilmu administrasi negara ini, dan nilai-nilai tersebut hampir semuanya selalu tidak konsisten. Itulah sebabnya George frederickson sangat kuat menolak suatu notion tunggal  yang setuju terhadap administrasi negara baru dengan menghadirkan suatu model yang secara total tidak menyetujui teori dan norma-norma lama dalam bidang ini.

 Argumentasi dan dasar pemikiran konsep baru dalam ilmu administrasi negara seharusnya mengalir secara langsung dari ‘ nilai-nilai yang dibimbing oleh konsep administrasi negara yang dianggap tradisional

Dengan demikian, konsepsi baru administrasi negara itu dilahirkan secara logis dari agregasi ilmu pengetahuan baru dalam ilmu-ilmu sosial dan yang mengarahkan pandangan perhatian ilmu-ilmu tersebut pada persoalan-persoalan masyarakat secara luas. Jika demikian halnya, maka ilmu administrasi negara yang berwajah baru itu diperkaya dengan hubungan yang signifikan dari ilmu-ilmu lain sehingga pendekatannya lebih operasional dan berfaedah dalam mencapai tujuan negara[2].

            Perkembangan kehidupan masyarakat semakin hari semakin bertambah. Manusia sebagai salah satu anggota masyarakat, kebutuhannyapun semakin bertambah. Jika sumber-sumber tersedia, maka kebutuhan tersebut akan terpenuhi, namun sebaliknya jika sumber-sumber tersebut langka, maka manusia harus mengusahakannya. Persoalan manusia tadi kemudian mengkomulasi menjadi persoalan masyarakat, dan persoalan masyarakat tadi lalu mengkristal menjadi persoalan negara. Pada saat itulah kita menyadari bahwa perlu suatu tindakan pemecahan masalah (pemerintah dituntut untuk mampu berpikir, menganalisa, mencari dan mengajukan alternatif pemecahan masalahnya). Maka dalam hal ini administrasi negara merupakan suatu sistem yang menjawab persoalan-persoalan masyarakat tersebut. Administrasi negara haruslah mampu menjawab tuntutan-tuntutan masyarakat yang senantiasa berkembang tadi. Ilmu administrasi negara harus mampu menanggapi isu-isu pokok dalam masyarakat dan mampu memformulasikannya kedalam suatu rumusan kebijaksanaan serta cakap melaksanakan kebijaksanaan tersebut dalam realisasi kerja sehari-hari.
Administrasi negara semakin bertambah perhatiannya terhadap wilayah ilmu kebijakan (policy science), politik ekonomi, proses pembuatan kebijakan pemerintah dan analisisnya (public policy making process) dan cara-cara pengukuran dari kebijakan yang telah dibuat.
Aspek-aspek perhatian ini dalam banyak hal dapat dianggap sebagai suatu mata rantai yang menghubungkan antara fokus administrasi negara dengan locusnya. Dalam tren yang diikuti (paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi negara), maka fokus ilmu administrasi negara adalah teori organisasi, praktika dalam analisis public-policy, dan teknik-teknik administrasi yang sudah maju. Adapun locus normatif dari administrasi negara diantaranya adalah birokrasi pemerintahan dan persoalan-persoalan masyarakat. Yang kemudian hingga saat ini terus mengalami perkembangan. Diantara perkembangan tersebut bermunculan konsep-konsep atau istilah-istilah yang saat ini marak di gunakan dalam Ilmu administrasi negara[3] yaitu Good Governance, Reinventing government, Banishing Bureaucracy, new public management, new public service dan lain sebagainya.

Kebijakan Publik
Sudah bisa dipastikan, pendirian sebuah negara mempunyai tujuan. Biasanya, tujuan tersebut dicantumkan dalam konstitusi negara masing-masing. Begitupula Indonesia dengan konstitusinya. Didalam Pembukaan UUD 1945 tersurat cita-cita dan tujuan pembentukan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Alinea ke-4 pembukaan UUD 1945, secara tegas menyatakan bahwa tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah Republik Indonesia adalah untuk “ melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh Tumpah Darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Persoalannya bagaimana mewujudkan tujuan dan cita-cita luhur bangsa itu? Tentunya bukan hal yang mudah, karena kompleksnya permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintah. Setiap tindakan pemerintah tentu akan mempunyai dampak dalam kehidupan kemasyarakatan. Semakin intensif kegiatan dan tindakan pemerintah, dan semakin pentingnya peranan organisasi-organisasi besar, akan semakin besar dan dalam pula dampak dan keputusan yang mereka ambil. Akibat pentingnya arti tindakan dan kegiatan yang bersifat publik tersebut, maka kemudian berkembang suatu kajian yang kita kenal selama ini sebagai studi kebijakan publik (publik policy) yang telah menjadi pembahasan di kalangan akademisi sejak tahun 1930-an.
Untuk melihat kebijakan publik, kita bisa menilik kembali paradigma pertama dalam administrasi negara yaitu dikotomi politik-administrasi, sebagai protes dominasi politik dalam kehidupan aparatur kenegaraan, para ahli administrasi negara sejak 1886 telah menyerukan perlunya pemurnian kembali kehidupan organisasi dan fungsi organisasi-organisasi negara. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah dengan memisahkan tahapan perumusan kebijakan dari tahapan pelaksanaan kebijakan.
Dalam kehidupan negara-negara demokrasi, proses pemerintahan dapat dibagi dalam dua tahap yaitu : tahap pertama rumusan kebijakan dan tahap kedua pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan pada tahap pertama. Dalam ukuran makro, keterlibatan rakyat, baik yang berbentuk aspirasi, keinginan, tuntutan, dan sebagainya memperoleh tempat terutama pada tahap pertama. Manifestasinya berupa pemilihan umum. Di negara-negara demokratik, pemilihan umum diselenggarakan secara periodik, misalnya di Indonesia di lakukan setiap lima tahun sekali. Bagi partai pemenang pemilu, apa yang mereka kampanyekan akan diangkat sebagai program yang dilaksanakan oleh kabinetnya. Tujuannya secara mudah mereka suarakan ; untuk melayani kepentingan masyarakat.
Mengenai definisi kebijakan publik, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli teori administrasi negara yang lebih mengacu pada esensi yang terkandung dalam pengertian kebijakan publik. Thomas R.Dye[4] merumuskan kebijakan publik sebagai : “pillihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan”. Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah disamping yang dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik. Sebagai contoh kebijakan untuk menaikkan subsidi BBM atau tidak menaikkan subsidi BBM, kebijakan untuk memperbaiki jalan raya yang rusak atau tidak memperbaiki jalan raya yang rusak. William N. Dunn (2000)[5] menyatakan bahwa kebijakan publik adalah “ a complex pattern of interdependent collective choice, including decisions not to act, made by governmental bodies and officials”.
 Dalam bukunya yang berjudul “ The Political system”, David Easton[6] mendefinisikan kebijakan publik sebagai :pengalokasian nilai-nilai kepada seluruh masyarakat secara keseluruhan, karena ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan menganut seperangkat nilai di dalamnya (di kutip Dye, 1981). Easton mensyaratkan sifat otoritatif dalam proses alokasi, tetapi di dalam kenyataanya, hanya pemerintah yang dapt bertindak secara otoritatif kepada seluruh masyarakat ; apapun yang dipilih pemerintah, baik bertindak maupun tidak bertindak terungkapkan dalam alokasi nilai. Sedangkan Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan[7] menyatakan bahwa hendaknya kebijakan berisi tujuan, nilai dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat. Ini berarti kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Ketika kebijakan publik berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya suatu kebijakan publik harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktika-praktika yang hidup dalam masyarakat.
Lingkup kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai sektor atau bidang pembangunan, seperti kebijakan publik di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, perdagangan, kehutanan, pertahanan, dan sebagainya. Di samping itu dilihat dari hirarkhinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal seperti Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan pemerintah propinsi, peraturan pemerintah kabupaten/kota, dan keputusan bupati/wali kota.
Thomas R. Dye mengatakan bahwa kebijakan publik  mempunyai 4 sifat : regulatif, organisasional, distributif dan ekstraktif. Dengan demikian liputan kebijakan publik memang begitu luas. Analisis dan studi kebijakan publik menurut Dye, pada umumnya melibatkan 5 hal berikut yaitu : (1) distribusi materi-materi yang dikandung dalam kebijakan publik, (2) penilaian dampak kekuatan lingkungan terhadap isi kebiajakn publik, (3) analisis efek pengaturan institusional yang terjadi dalam proses politik terhadap kebijakan publik (4) konsekwensi-konsekwensi kebijakan publik terhadap sistem politik (5) evaluasi dampak kebijakan publik pada masyarakat, baik yang diharapkan maupun yang tidak.
Suatu kebijakan yang baik menurut William N. Dunn, harus melalui tahap-tahap kegiatan. Tahap-tahap tersebut antara lain (1) agenda setting, ((2) policy formulation, (3) policy adoption, dan (4) policy implementation, serta (5) policy asessment. Dari tahap-tahap tersebut, salah satu tahap yang paling rumit dan menetukan adalah ‘policy formulation”, yang didalamnya tercakup cara memformulasikan alternatif-alternatif kebijakan yang mampu memecahkan masalah, memilih alternatif-alternatif memadai, dan efektif bila dilaksanakan dan lain sebagainya. Salah satu cara untuk memilih alternatif mana yang paling menguntungkan adalah melalui analisis kebijakan.
Menurut Dunn, analisa kebijakan sebagai sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan pelbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan sehingga dpat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-maslah kebijakan. Ruang lingkup dan metode-metode analisis  sebagaian bersifat deskriptif dan informasi yang nyata(faktual) mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat kebiajkan sangat penting untuk memahami maslaah-masalh kebiajakan. Lebih dari itu, tujjuan analisa kebijakan lebih dari sekedar menghasilkan ‘fakta-fakta’, analisis juga mencari untuk menghasilkan informasi mengenai niali-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Dengan begitu analisa kebijakn meliputi baik evaluasi kebiajakn maupun anjuran kebijakan (policy advocacy).
 Analisa kebijakan diharapkan menghasilkan Informasi-informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai 3 macam pertanyaan : (1) nilai-nilai pencapaianya yang menjadi tolok ukur apakah suatu masalah telah dapat di pecahkan, (2) fakta-fakta yang keberadaanya          Dapat membatasi atau mempertinggi pencapaian nilai-nilai, (3) tindakan-tindakan yang pelaksanaanya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai dan pemecahan masalah-masalah.
Dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga tipe pertanyaan, analis dapat menggunakan satu atau lebih dari tiga pendekatan analisa : empiris, evaluatif, dan normatif . pendekatan empiris menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik, disini pertanyaan pokoknya adalh mengenai fakta (apakah sesuatu itu ada?) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat penandaan (designative). Analisis sebagai misal dapat menjelaskan atau meramal pembelanjaan publik untuk pendidikan, kesehatan, transportasi dan lain sebagainya. Sebaliknya pendekatan evaluatif terutama berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan. Disini pertanyaannya adalah mengenai nilai (berapa nilai sesuatu?) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat evaluatif. Misalnya, setelah menerima informasi dari berbagai macam kebijakan perpajakan, analis dapat mengevaluasi bermacam-macam cara untuk mendistribusikan beban-beban pajak menurut etika dan konsekwensi-konsekwensinya. Akhirnya pendekatan normatif terutama mengenai pengusulan arah-arah tindakan-tindakan yang dapat memecahkan problem-problem kebijakan. Dalam kasus ini pertanyaan adalah mengenai tindakan ( apa yang harus dilakukan?) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat anjuran.
Menganalisis suatu kebijakan merupakan usaha untuk dapat merekomendasikan kebijakan. usaha ini berawal dari penyajian secara cermat informasi yang menunjukkan adanya masalah kebijakan, yang mana informasi ini nantinya akan digunakan untuk membuat informasi tentang alternatif -alternatif kebijakan dan seterusnya. Untuk menentukan alternatif mana yang akan dipilih, memerluka kriteria-kriteria dan metode-metode tertentu. sebagaimana yang diungkapkan oleh Dunn, untuk menentukan alternatif terpilih setidaknya ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan antara lain : (1) effectiveness, yaitu apakah kebijakan tersebut  dapat mencapai sasaran yang telah dirumuskan ; (2) Efficiency, yaitu apakah kebijakan yang akan di ambil itu seimbang dengan sumber daya yang tersedia dan (3) adequacy, yaitu apakah kebijakan itu sudah cukup memadai untuk memecahkan masalah yang ada.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Wahyudi Kumorotomo (2000) juga mengemukakan pendapatnya, setidaknya ada 5 kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan baik tidaknya suatu kebijakan, antara lain ; (1) economically reasenable, yaitu apakah kebijakan itu menguntungkan apabila dilaksanakan, (2) politically acceptable, yaitu apakah kekbijakan tersebut dapat diterima oleh masyarakat ; (3) socially appropriate, yaitu apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan masalah sosial apabila dilaksanakan (4) administratively implementable, yaitu apakah kebijakan tersebut mampu atau dapat diimplementasikan dan (5) technically possible, yaitu apakah kebijakan tersebut secara teknis dapat dilaksanakan di lapangan. Darii berbagai pendapat diatas, maka pada intinya alternatif kebijakan yang memadai dan efektif untuk dilaksanakan, setidaknya harus memenuhi kriteria-kriteria kelayakan ekonomi dan finansial, sosial, teknis, legal, administrasi, dan politis. disamping itu tidak kalah pentingnya perlu dipertimbangkan pula kriteria-kriteria efektifitas, efisiensi, dan adequacy.
Hogwood dan Gunn menyebutkan adanya 7 (tujuh) variasi kegiatan analisis dimana ketujuh variasi kegiatan analisis kebijakan ini sekaligus menggambarkan ruang lingkup (scope) analisis kebijakan yaitu ;
Pertama, ada yang disebut studi-studi isi  kebijakan (studies of policy content). dalam studi ini analis bermaksud untuk menyajikan gambaran dan penjelasan mengenai asal muasal serta perkembangan kebijakan-kebijakan tertewntu. analis yang menaruh perhatian padaisi kebijakan biasanya meneliti satu kasus atau lebih guna melacak bagaimana kebijakan tertentu muncul, bagaimana kebijakan tadi diimplementasikan dan apa hasil-hasilnya.
Kedua, studi-studi tentang proses kebijakan. pada studi ini yang menjadi sorotan perhatian utama ialah tahap-tahap yang harus dilalui oleh issu kebijakan sebelum menjadi agenda pemerintah dan usaha-usaha yang dilakukan untuk menilai pengaruh berbagai faktor trhadap perkembangan issu. studi-studi tetnang proses kebijakan adakalanyamenunjukkan kesamaan perhatian dengan studi isi kebijakn, namaun studi proses kebijakan utamanya lebih menaruh perhatian pada upaya-upaya untuk menyikapkan berbagai faktor yang memepengaruhi terhadap perumusan kebijakan ( policy formulation ). studi-studi mengenai proses kebijakan seringkali bersangkut paut dengan sejenis issu tersebut diatas bidang-bidang kebijakan yang lebih khusus (spesific policy areas). Namun studi-studi tersebut juga memusatkan perhatian pada proses kebijakan yang berlangsung dilingkungan suatu organisasi tertentu atau pengaruh kebijakan dalam lingkungan komunitas/masyarakat tertentu.
Ketiga, studi mengenai output-output kebijakan. studi semacam ini pada umumnya bermaksud untuk menjelaskan kenapa tingkat pengeluaran biaya atau penyediaan jasa oleh pemerintah antara daerah yan satu dengan daerah yang lain berbeda-beda. studi ini menepatkan kebijakan sebagai variabel tergantung serta berusaha memahami kebijkan-kebijakan tersebut ditilik dari sudut faktor-faktor sosial,ekonomi,teknologi,dan lain sebagainya yang mempengaruhinya.
Keempat, studi-studi evaluasi yang menandai bats-batas antara analisis mengenai kbijakan dan analisis untuk kebijakan. Studi evaluasi ini kadangkala juga disebut sebagai studi dampak kebijakan (policy impact studies) karena studi tersebut memang bermaksud untuk menganalisis dampak kebijakan-kebiajakn tertentu terhadap penduduk atau kelompok sasaran. Studi-studi evaluasi ini dapat bersifat deskriptif  ataupun bersifat preskriptif.
Kelima, studi  informasi untuk  pembuatan kebijakan, dimana data dihimpun dan disusun sedemikian rupa guna membantu para pembuat kebijakan agar dapat mengambil keputusan-keputusan yang tepat. Informasi bagi keperluan pembuatan kebijakan mungkin berasal dari hasil penilaian yang dilaksanakan oleh kalangan pemerintah sendiri sebagai bagian dari suatu proses monitoring yang biasa dilakukan ; atau bisa jadi informasi tersebut telah disiapkan oleh para analis kebijakan akademik yang berhasrat untuk menerapkan pengetahuan dan keahlian mereka guna memecahkan masalah-masalah praktis.
Keenam, proses kepenasehatan (process advocacy) yang pada hakekatnya merupakan bentuk lain dari analisis untuk kebijakan dimana para analis bermaksud untuk memperbaiki sifat dari sistem-sistem pembuatan kebijakan yang ada. Proses kepenasehatan pada umumnya tercermin dalam berbagai upaya yang dilakukan untuk menyempurnakan mesin-mesin pemerintahan melalui relokasi fungsi-fungsi dan tugas-tugas, dan dalam usaha untuk memantapkan landsan bagi pemilihan kebijakan melalui pengembangan sistem-sistem perencanaan serta pendekatan-pendekatan baru untuk menilai dan memilih alternatif terbaik.
Ketujuh, ialah yang disebut nasehat kebijakan, yakni suatu kegiatan yang melibatkan analis dalam mendesakkan pilihan-pilihan alternatif tertentu dan gagasan-gagasan tertentu dalam proses kebijakan, baik secara perseorangan (atas nama pribadi) ataupun dalam kerjasamanya dengan pihak lain, semisal kelompok-kelompok kepentingan.
 Proses Kebijakan Publik
Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalh aktivitas yang lebih bersifat intelektual.
Proses kebijakan publik
                                    
Aktivitas intelektual
Aktivitas politik
Perumusan masalah
(memberikan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah)
Penyusunan agenda
(1)Membangun persepsi dikalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai sebuah maslah (2) membuat batasan masalah (3) memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah
Forecasting
( memberikan infomasi mengenai konsekwensi dimasa mendatang dari direrapkannya alternatif kebijakan, termasuk apabila tidak membuat kebijakan)
Formulasi kebijakan
Mengumpulkan dan menganalisis informasi yang berhubungan dengan masalah yang bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan, membangun dukungan dan melakukan negosiasi, sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih.
Rekomendasi kebijakan
(memberikan informasi mengenai manfaat bersih dari setiap alternatif dan merekomendasikan alternatif kebijakan yang memberikan manfaat bersih paling tinggi).
Adopsi kebijakan
Penentuan kebijakan (memilih alternatif kebijakan terbaik yang kemudian akan ditetapkan menjadi kebijakan
Monitoring kebijakan
(memberikan informasi mengenai konsekwensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan termasuk kendala-kendalanya)
Implementasi kebijakan
Perlu adanya dukungan sumber daya dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan.
Evaluasi kebijakan
(memberikan informasi mengenai kinerja atau hasil dari suatu kebijakan)
Penilaian kebijakan
Evaluasi terhadap implementasi,kinerja, dan dampak kebijakan. Hasil evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan kebijakan baru dimasa yang akan datang agar kebijakan yang akan datang lebih baik dan lebih berhasil.
Sumber : Di sadur dari berbagai sumber[8]

Sistem Kebijakan
Suatu kebijakan pada dasarnya berada dalam sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional. Kebijakan sebagai sebuah gejala lebih tepat jika dipahami dalam kerangka hubungannya dengan berbagai macam subsistem yang ada. Dipahami secara sistemik, kebijakan sebagai suatu sistem memiliki tiga buah komponen yang berinteraksi secara timbal balik. Komponen itu adalah sebagai berikut[9] :
a.       Pelaku kebijakan, yakni badan pemerintah maupun orang atau lembaga non pemerintah yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Mereka dapat mempengaruhi dan sekaligus terkena pengaruh dari suatu kebijakan.
b.      Lingkungan kebijakan, yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan bukannya orang-orang yang berada disekitar dan mempengaruhi pemerintah selaku penentu akhir suatu kebijakan (mereka ini semua termasuk dalam kotak pelaku atau aktor kebijakan) melainkan lebih menunjuk pada bidang-bidang kehidupan masyarakat yang dapat atau perlu dipengaruhi oleh pelaku kebijakan. Misalnya, demokrasi, pengangguran, kriminalitas, efisiensi dan produktifitas kerja, pencemaran alam, urbanisasi, deskriminasi, ketimpangan distribusi pendapatan dan lainnya.
c.       Kebijakan publik, yakni serangkaian pilihan tindakan pemerintah untuk menjawab tantangan (atau memecahkan masalah) kehidupan masyarakat.

Ketiga elemen tersebut dalam pelaksanaannya saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya. Oleh karena itu sistem kebijakan berisi proses yang bersifat dialektis yang berarti bahwa dimensi objektif dan subjektif pembuatan kebijakan tidak dipermasalahkan didalam prakteknya. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Sistem kebijakan adalah realitas objektif yang dimanifestasikan ke dalam tindakan-tindakan yang teramati beserta konsekuensinya.
Skema. 1
Hubungan Antar Tiga Komponen Sistem Kebijakan
 




      Kebijakan publik
 
  Lingkungan kebijakan            bijakan
 
        
                                                                                         

Sumber: Dikutip dari Dye, Thomas.R, Understanding public Policy ,3rd, ed.2, engkwood         cliis,N.J: Prentice-Hall,Inc.1978,p.9 dan disadur oleh Samodra Wibawa.

      Untuk lebih memberi batas kajian yang dilakukan kebijakan publik, maka diperlukan kerangka kerja. Batas ini hendaknya mampu mendorong untuk mengkontruksikan semua faktor-faktor yang potensial dalam proses pembuatan kebijakan publik dan kesemuanya ini hendaknya dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan. Faktor-faktor tersebut adalah :   
a.       Apakah tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan?
b.      Bagaimana dan apakah tujuan–tujuan yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan ?
c.       Apakah terdapat sumber-sumber yang mendukung kebijakan dan dapat dimanfaatkan ?
d.      Siapakah pelaku-pelaku yang terlibat dalam kebijakan publik, dan apakah mereka mampu dan mau melaksanakannya ?
e.       Bagaimanakah faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kebijakan bakal dibuat, mendukung, menolak atau pasif ?
f.       Bagimanakah strategi yang harus dijalankan didalam membuat, melaksanakan, dan mengevaluasi kebijakan publik ?
Sementara itu antar hubungan dari keseluruhan komponen tersebut berproses secara resiprokal sehingga membentuk pola sistemik sebagai berikut;  Input - proses - output - feed back.
            Menurut Mifthah Thoha, model sistem berusaha menggambarkan public policy sebagai suatu masalah (output) dari suatu sistem politik. Pada konsep sistem terkandung didalamnya serangkaian institusi dalam masyarakat dan aktivitasnya yang mudah diidentifikasi. Lembaga ini melakukan fungsi transformasi dari beberapa tuntutan ke dalam suatu keputusan otoritatif dan usaha transformasi ini membutuhkan dukungan seluruh masyarakat. Terkandung pula didalam konsep sistem bahwa unsur-unsur sistem saling berhubungan, unsur-unsur tersebut dapat memberikan respon dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam lingkungannya dan hal tersebut dilakukan agar supaya dapat melindungi dirinya sendiri.
Mengingat luasnya cakupan permasalahan yang ingin dipecahkan oleh kebijakan, maka kebijakan dalam prosesnya dihadapkan pada alternatif pilihan kebijakan yang paling tepat dengan kondisi lingkungan (baik politik, ekonomi, maupun sosial-budaya) dan ketersediaan sumber daya yang ada. Sumber daya disini dapat berupa SDM, dana, teknologi, dan sarana pendukung lainnya. Padahal     sumber daya, input dan kemampuan pemerintah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan memiliki keterbatasan.
            Interaksi antara kelangkaan sumber daya dan kebutuhan akan sumber daya pembangunana mendorong munculnya proses tawar-menawar antar berbagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap kebijakan yang akan dibuat. Interaksi antara berbagai aktor seperti elit politik, aparat birokrasi, militer, kelompok kepentingan dan kelompok sasaran kebijakan akan melahirkan konsesus ataupun kesepakatan sebagai hasil dan proses tawar-menawar tadi. Sehingga kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan hasil dari proses tawar-menawar dari kelompok kepentingan yang ada.
            Dikebanyakan negara berkembang interaksi antara berbagai aktor ini lebih banyak didominasi oleh elit politik dan birokrasi. Pada umumnya mereka menguasai sumber daya yang besar sehingga masyarakat maupun kelompok sasaran memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap mereka. Bahkan kadang kala kekuatan penguasaan sumber daya ini menjadi alat untuk mempertahankan status quo.
      Seharusnya setiap kebijakan yang diambil dapat mengakomodasikan semua kepentingan yang ada, akan tetapi birokrasi sendiri memiliki keterbatasan dalam mengikuti berkembangnya kebutuhan masyarakat. Birokrasi mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi dampak kebijakan yang dibuat dan juga kekurangpekaan birokrasi itu sendiri. Tidak mengherankan jika pada akhirnya banyak kebijakan yang dibuat mengalami bias pada saat implementasinya dan menghasilkan output yang tidak sesuai dengan harapan. Sebuah kebijakan bisa tidak berdaya guna dan berhasil guna karena kegagalan dalam tahap merumuskan permasalahan sebagai akibat kesalahan dalam mengidentifikasikan permasalahan yang sesungguhnya.  Implikasinya dalam tahap formulasi kebijakan, program yang dirumuskan juga tidak akan menyelesaikan permasalahan utama karena memang permasalahannya telah mengalami pembiasan atau bisa jadi kebijakan justru gagal dalam tahap pengimplementasian itu sendiri dikarenakan berbagai faktor.
Skema. 2

Sistem politik /Kebijakan


       Input                                         Process                                    Output
       -Demands                                                                                      -Decisions
       -Support                                                                                        -Actions             
  
            
                                                      Feed Back

Sumber : Samodra Wibawa (1994) Kebijakan Publik : Proses dan Analisis, Intermedia, Jakarta.  p.14

Gambar 2 memperlihatkan bahwa kebijakan (policy) atau keputusan merupakan out put  dari sistem politik. Kebijakan dibuat oleh sistem politik untuk; pada tahap pertama untuk menanggapi tuntutan dan dukungan dari semua aktor yang terlibat didalam sistem yang meminta agar kebutuhan atau kepentingannya dipenuhi oleh sistem; dan pada tahap kedua mengelola atau merespon umpan balik (feed Back) yang berasal dari atau diakibatkan oleh keluaran sistem politik itu sendiri. Karena tidak semua tuntutan dapat dikelola atau diproses atau dikonversikan oleh sistem politik yang disebabkan oleh terbatasnya sumber daya atau dukungan untuk memenuhi tuntutan—maka konversi politik sebenarnya merupakan usaha untuk memilih tuntutan mana yang paling relevan dan paling mungkin ditanggapi (melalui kebijakan dan tindakan). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kebijakan dalam beberapa hal merupakan penskala-prioritas-an tuntutan yang perlu dikelola atau dipenuhi. Karena tuntutan tersebut dimajukan atau didesakkan oleh berbagai macam aktor, yang tidak semuanya dapat dipenuhi oleh sistem politik maka dengan demikian proses politik dapat dilihat sebagai proses persaingan dan tawar-menawar antara semua aktor (Samodra Wibawa) .
Menurut Samodra salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan–tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Seringkali terjadi bahwa apa yang diputuskan oleh pemerintah (eksekutif-legislatif) memberikan kesan telah dilakukannya suatu tindakan, yang sebenarnya hanya untuk memelihara ketenangan sistem yang ada dari pada sebagai alat pemecahan masalah masyarakat. Pada akhirnya kita kehilangan perhatian terhadap apa yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah.

Model Elit dalam pembuatan kebijakan publik
            Fokus yang menekankan elit dalam proses kebijakan publik (elitisan) ini, berpandangan bahwa sesungguhnya dalam kenyataan dilapangan, dominasi para elitlah yang menentukan sebuah produk kebijakan publik. Konsep ini dicetuskan oleh dua ilmuan Itali yaitu Mosca dan Pareto. Mereka berpandangan bahwa masyarakat tanpa kelas itu adalah mitos belaka, demokrasi yang menghendaki keterlibatan partisipasi seluruh rakyat hanyalah jargon. Mereka berpandangan bahwa dalam kenyataannya dilapangan, masyarakat selalu berkelas dan mereka yang menduduki kelas tertinggilah yang akan menentukan warna dari sebuah produk kebijakan publik. Mosca menyebut kenyataan itu dengan Iron lawa of Oligarchy. Dan, dalam pandangan ini demokrasi pada dasarnya adalah proses tawar yang terbuka antar para elit itu sendiri. Fokusnya dalam pendekatan ini adalah dimana kekuasaan itu terkonsentrasikan[10].
            Menurut Samodra Wibawa (1994) model ini merupakan abstraksi dari suatu proses pembuatan kebijakan dimana kebijakan publik boleh dikatakan identik dengan perspektif  para elit politik. Dalam model ini kehidupan sosial terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan atas dengan jumlah yang sangat kecil yang selalu mengatur dan lapisan bawah dengan jumlah yang sangat besar sebagai yang diatur. Karena itu kebijakan negara mencerminkan kehendak atau nilai-nilai sekelompok kecil orang yang berkuasa.
            Isu kebijakan yang akan masuk dalam agenda perumusan kebijakan merupakan kesepakatan  dan juga hasil konflik yang terjadi diantara elit politik itu sendiri. Sementara itu konflik diantara elit politik itu sendiri tidaklah mencerminkan sesuatu kelompok masyarakat yang diwakilinya. Masyarakat yang menjadi kelompok sasaran dari berbagai kebijakan negara tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menciptakan opini tentang isu kebijakan yang seharusnya menjadi agenda politik ditingkat atas. Sementara itu, para pejabat pemerintah yang terdiri atas birokrasi/administrator hanya menjadi mediator bagi jalannya informasi yang mengalir dari atas (pembuat kebijakan) ke bawah (masyarakat).
            Karena pada dasarnya para elit politik ingin mempertahankan status quo-nya, maka kebijakan menjadi bersifat konservatif, sehingga dalam kehidupan politik tidak terjadi kejutan-kejutan yang memungkinkan munculnya ketidaksepakatan masyarakat terhadap kebijakan yang muncul. Kalaupun terjadi perubahan kebijakan, maka sifatnya inkremental (tambal-sulam) maupun trial-error, yang hanya mengubah atau memperbaiki kebijakan sebelumnya.
            Kebijakan yang dibuat oleh para elit politik tidaklah berarti selalu tidak mementingkan kesejahteraan masyarakat. Dalam derajat tertentu mereka tetap membutuhkan dukungan massa, sehingga mereka harus juga memuaskan sebagian kepentingan massa tersebut. Nilai-nilai, sikap dan pandangan elit sudah barang tentu sangat mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan. Partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan maupun implementasinya, dengan demikian terasa terabaikan.
            Di Indonesia, peranan elit dalam kehidupan politik cukup menonjol. Karena itu model ini dapat menjadi salah satu alat analisis untuk mengupas proses perumusan/pembuatan kebijakan publik.



[1]  Pengertian administrasi negara yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, diantaranya :
    Menurut Felix A. Nigro dan Lloyd  G. Nigro : (1) administrasi negara  adalah suatu kerjasama kelompok dalam lingkungan pemerintahan. (2) administrasi negara meliputi ketiga cabang pemerintahan: eksekutif, legislatif dan yudikatif, serta hubungan diatara mereka. (3) adm. negara mempunyai peranan penting dalam perumusan kebijaksanan pemerintah, dan merupakan sebagian dari proses politik. (4) adm . negara sangat erat hubungannya dengan berbagai macam kelompok swasta dan perorangan dalam meyajikan pelayanan kepada masyarakat. (5) adm. negara adalah beberapa hal yang berbeda pada penemptan pengertian dengan administrasi perorangan. 
Menurut Edward H. Litchfield : Administrasi negara/publik adalah suatu studi mengenai bagimana bermacam-macam badan pemerintahan di organisir, diperlengkapi dengan tenaga-tenaganya, dibiayai, digerakkan dan dipimpin.
Menurut George J. Gordon :Administrasi negara/ publk dapat dirumuskan sebagai seluruh proses baik yang dilakukan organisasi maupun perseorangan yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh badan eksekutif, legislatif dan pengadilan.
Marshal Dimock, Gladys Dimock, dan Douglas Fox,1983 : public administration is the produced of good and service designed to serve the needs of citizble -costumers.
Rosenbloom dan Deborah D. Goldman (1989) public administration is the use of managerial, political, and legal theories and processes to fulfill legislatif, executive, and judicial governmental mandates for the provision of regulatory and service function for the society as a whole or for some segments of it.
Levine, Peters, Thompson 1990. Pulic administration is centrally concerned With the organization of government policies and programs as wellas  the behavioral of officials (usually non elected) formally respon for their conducten .
Sondang P. Siagian .1996. administrasi negara adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintahan dari suatu negara dalam usaha mencapai tujuan negara.


[2]  Miftah Thoha, 1984. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: CV. Rajawali.  Cetakkan I.

[3]  Dalam perkembangan konsep ilmu administrasi negara, telah  terjadi pergeseran titik tekan dari  administration of public dimana negara sebagai agen tunggal implementasi fungsi negara/pemerintahan ; administration for public yang menekankan fungsi negara/pemerintahan yang bertugas dalam public service ; ke administration by public yang berorientasi bahwa public demand are differentiated, dalam arti fungsi negara/pemerintah hanyalah sebagai fasilitator, katalisator yang bertitik tekan pada putting the customers in the driver seat. Dimana determinasi negara/pemerintah tidak lagi merupakan faktor atauaktor utama atau sebagai driver forces. ( Warsito Utomo dalam pidato pengukuhan guru besar, dan disadur oleh Miftah Thoha (2008) Ilmu administrasi Kontemporer)
[4] Dalam Subarsono, AG (2005) Analisis Kebijakan Publik, konsep,teori dan aplikasi. Yogyakarta :Pustaka Pelajar
[5]  William N.Dunn. (2000) Analisis Kebijakan Publik. Penerjemah Samodra Wibawa, dkk. Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.
[6] Pandji santosa (2008)  Administrasi Publik ‘ Teori dan Aplikasi Good Governance”. Bandung. Refika Aditama
[7] Subarsono (2005)
[8] William N. Dunn, , Samodra wibawa,  Subarsono , Pandji Santosa.
[9] Wibawa, Samodra (1994) Kebijakan Publik : Proses dan Analisis, Intermedia, Jakarta. P. 51.
[10] Putra, Fadillah (2003) Paradigma kritis dalam studi kebijakan publik, Cet. Ke-2, Pustaka Pelajar. Yogyakarta. P.15.

� �7- r �_� �a� pi-per-tanggal-2-desember-2010-mencapai-277-orang.slm diakses 16 Januari 2010

1 komentar:

  1. assalamualaikum kk' ... bisa bertanya tidak ,, bagaimana caranya biar blog kita bisa muncul di pencarian google

    BalasHapus