Saya menulis ini bukan karena saya lebih paham mengenai dunia perfilman atau penyutradaraan, tapi catatan keheranan saya saja. Saya memang bukan orang film, tidak pula bersekolah pada jurusan perfilman, tapi saya suka sastra, suka membaca, membaca apa saja, dan ketika membaca tentu saja saya memiliki imajinasi sendiri terhadap bacaan tersebut sesuai dengan deskripsi penulis. Termasuk novel si anak kampoeng karya Damien Dematra. Terus terang, saya sangat kecewa dengan film si anak kampoeng yang disutradarai sendiri oleh sang penulis novel. Bukan kecewa mengenai cerita Buya Safii yang sesungguhnya ataupun pesan yang ingin disampaikan, akan tetapi kecewa dengan produk buatan sutradara ketika saya menontonnya pada Sabtu (23/4) di studio 21 Ambarukmo Plaza, Yogyakarta.
Kekecewaan itu dalam banyak hal, mulai dari suara, bahasa, pemilihan tokoh, setting tempat, busana pemain, adegan, sampai alur cerita, semuanya tidak memuaskan. Suara musik latar atau suara selain dialog dan monolog tokoh (saya tak mengerti apa namanya dalam dunia perfilman) bising dan lebih nyaring dari dialognya, ini membuat tidak nyaman. Sebenarnya lagunya bagus, suara penyanyinya juga merdu, namun lagu itu berulang-ulang kali diputar dalam adegan tertentu sehingga membosankan. Banyak nyanyinya ketimbang dialognya. Selain itu, apakah tidak dirasakan keanehannya ketika suara yang jauh tetapi terdengar sangat dekat (contohnya: pada adegan auman harimau. Suara auman harimau itu jelas sekali seperti dibalik bilik rumah Pi’I, keras, dan jelas itu suara dari lokasi yang dekat akan tetapi ternyata harimau itu berada nun jauh di sana. Masuk akal kah ini? Lain lagi dengan suara kerusuhan dan kebakaran, jelas sekali suaranya sangat dekat ketika Pi’I menyelesaikan shalatnya, seolah kebakaran terjadi pada tetangga, namun ternyata kebakaran dan kerusuhan itu terjadi di kota tempat tinggal ibu tiri Pi’I, jauh dari pelosok kampung Pi’i).
Dari deskripsi dalam novel, kampung Calau, Sumpur Kudus, Sumatera adalah desa yang sangat terpelosok, listrik saja bahkan baru masuk ke sana pada tahun 2005. Setting tempat dalam film terkesan sangat dipaksakan. Terlihat sangat jelas bahwa desa dalam film ini baru dibangun, membuka lahan baru dan sungguh rekayasa. Disana-sini tampak sekali rumput-rumput yang baru dipotong dan disingkirkan (setting tempat pekelahian Pi’I dan teman-temannya), menara mushola disangga oleh bambu segar yang masih berwarna hijau, pancuran air terbuat dari bilah bambu yang masih segar, sekolah rakyat yang sangat terkesan baru berdiri dimana halamannya yang berupa tanah seolah merupakan lahan yang baru dibuka dan sekolah tersebut sangat buruk sekali, berlebihan setting buruknya. Begitupun juga rumah, mushola, bukankah rumah Pi’I itu rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratap seng? Setidaknya begitu juga rumah sederhana bibinya (Etek Bainah). Dijelaskan dalam novel tersebut:
“Syafii berjalan menuju rumah panggung yang mirip dengan tempat ayahnya, kecuali bahwa milik ayahnya jauh lebih besar”…
“Syafii dengan patuh mengikuti etek Bainah ke dalam rumah. Rumah panggung itu sederhana dengan satu buah ruang makan, satu ruang tamu, dan sebuah boks kayu kecil di ujung, tempat adiknya, Saiful, yang masih kecil dibaringkan”,
Yahh… layaknya kita membayangkan rumah gadang bukan?! akan tetapi mengapa di film itu rumahnya menjadi rumah panggung dari gedeg dan beratapkan rumbia?
Mengenai pemilihan tokoh, bagaimana naluri sang sutradara ketika tokoh yang hendak di ceritakan itu berusia 7 tahun namun tokoh yang muncul terlihat jauh lebih tua dari usianya? Usia 7 tahun itu seperti anak kelas 2 SD, walaupun dari segi fisik besar tinggi/ gemuk, masih terlihatlah anak-anaknya, namun tokoh yang bermain kok seperti anak SMP ya? Begitupun juga tokoh bapak, jauh sekali dari bayangan saya, Sebelumnya, ketika saya membaca novelnya tokoh bapak itu digambarkan orang yang berwajah agak kurus, aristokrat, bertubuh tinggi dan gagah. Bisa dibayangkan bukan? Seorang pria minang tinggi dan gagah, datuak kepala suku pula, tentu saja imajinasi saya dari novel itu adalah sosok bapak yang tinggi, gagah, kokoh dan berwibawa. Namun apa dikata ketika saya menonton filmnya? Sosok bapak Pi’I (Ma’rifah) sepertinya kurang pas, tidak ada unsur tinggi dan gagah itu, yang ada flamboyan dan ringkih (lebih jelas saya melihatnya pada adegan ketika bapak Pi’I berjalan mendekati guru silatnya saat hendak menyampaikan sudah waktunya Pi’I untuk dikhitan) begitupun juga tokoh Pi’I itu sendiri yang sebelumnya saya membayangkannya sebagai anak kecil, mungil, lincah, polos, yang hanya berebut permen manis dan tak paham makna dari kata ‘giliran’ ketika para ibu tirinya bertengkar meributkan jadwal giliran dari Ma’rifah (cerita pertengkaran ini hanya ada di novel, bukan di adegan film) akan tetapi di film ternyata sosok Pi’I itu tak ubahnya seperti ABG SMP. Sebagai orang awam, janggal bagi saya, akan tetapi entahlah jika ini ada teorinya dalam dunia perfilman.
Tokoh yang diperankan oleh Ayu Azhari itu tidak jelas berperan sebagai siapa. Jika kita menyimak adegan Ayu Azhari sedang menjahit dekat jendela, jika dalam novel itu adalah sosok ibu tiri Pi’I yang biasa disapa Etek Lamsiah. Namun jika kita menyimak Ayu Azhari tengah kalang kabut saat kerusuhan dan kebakaran, di dalam novel itu adalah sosok ibu tiri lainnya yang biasa disapa Mak Maran. Lantas, hendak diperankan sebagai siapa Ayu Azhari di film tersebut? mengapa sedikitpun tak kebagian dialog kecuali menjawab Waalaikumsalam?
Lain tokoh, lain pula busana dan make up. Untuk menampilkan kesan busana zaman dahulu, bukan berarti baju harus dilecekan (kusut). Kemeja pak guru merupakan kemaja bagus, akan tetapi untuk menunjukkan masa, baju itu sangat lecek, tapi janggal seperti sengaja dilecekan. Begitu juga dengan baju teman-teman Pi’I yang jelas sekali lecek karena sengaja. Selain itu kejanggalan lainnya adalah make-up, agak aneh saja ketika melihat bibi Pi’I dengan pakaian yang sederhana di dalam rumah akan tetapi make-upnya menunjukkan masa sekarang, alis yang agak tegas dan kelopak mata agak berwarna.
Film ini mungkin untuk memotivasi anak-anak Indonesia agar memiliki semangat yang tinggi dalam belajar, berbakti pada orang tua, menjalani kehidupan dan meraih prestasi, akan tetapi sayang seribu kali sayang, alur cerita tersendat-sendat, satu adegan ke adegan yang lainnya tidak ada nyambungnya, sama sekali tidak bisa dinikmati maksud adegannya. Jika film ini untuk anak-anak, seharusnya mengambil alur maju agar anak-anak bisa mengerti, bukannya ziq-zaq kusut. Anak-anak mungkin lebih bisa mencerna cerita seorang anak lahir, kemudian ibunya meninggal lalu ia dititipkan pada bibinya, hidup bersama bibi, paman, dan sepupunya walaupun sang bapak juga masih sering menjenguknya, kemudian bagaimana kesehariannya bersama teman-temannya (termasuk juga dengan keponakannya—anak dari kakaknya yang pertama--), lalu bagaimana pula ia bersekolah hingga kemudian bisa merantau dan dalam perantauannya itu pula ia di surati bahwa bapaknya telah meninggal padahal ia belum ‘berhasil’ dalam perantauan. Bukankah ada tokoh-tokoh yang turut mewarnai masa kecil Buya, ada ke-3 saudara kandung Buya? ada Ibu Kandung Buya yang tidak ditampilkan bagaimana ekspresi sosok ibu yang tegas? Bukankah buya juga senang bermain dengan sapi? Mengapa tak ada Buya dengan senangnya memuji sapi jantannya bagai Hercules zaman Yunani? Dan mengapa tak ada pula ‘nikmat’ nya jadi anak kampung ketika mengajari temannya berenang di sungai sampai pandai walaupun mereka tak peduli itu gaya renang macam apa? Adegan demi adegan sebaiknya disajikan secara utuh, logis dan ada keterkaitan dengan sebelumnya atau sesudahnya sehingga bisa dicerna maksud dan tujuannya menjadi satu kisah hidup yang inspiratif.
Sekali lagi, tulisan ini bukan bermaksud buruk, namun ekspresi dari apa yang saya nanti-nantikan. Mohon maaf jika ada yang tak berkenan. Mungkin karena saya memang sudah terpesona dengan kisah dalam novel yang ditulis dengan luar biasa baiknya. Saya khawatir, ketika sekuel perdana ini disajikan dengan mengecewakan, maka film selanjutnya (si anak panah) kurang mendapat antusiasme penonton dan saya berharap tidak demikian, cukup Si Anak Kampoeng saja yang banyak catatan, untuk film selanjutnya semoga kebaikan tetap dapat tersebarkan. Saya takjub dengan kisah Buya Syafii begitupula dengan penulisan novelnya oleh Damien Dematra.
Yogyakarta, 25 April 2011
Salam Sukses,
Selvi Diana Meilinda

Tidak ada komentar:
Posting Komentar