Selasa, 29 November 2011

Valuasi Kawasan Hutan: Sebuah Pengantar Kebijakan Kehutanan



 Pengertian Hutan dan Kawasan Hutan     
    
Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang-Undang tersebut, Hutan adalah Suatu Kesatuan Ekosistem yang berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi :
a.    Suatu Kesatuan Ekosistem
b.    Berupa Hamparan Lahan
c.    Berisi Sumberdaya Alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
d.    Mampu memberikan manfaat secara lestari, dan berkesinambung.
Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem, dibumi.
--------- Ekosistem Hutan sebagai sub-ekosistem global menempatkan posisi penting sebagai paru-paru dunia (Zain,1996).-------------------------
Sedangkan  Kawasan Hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70 / Kpts-II/ 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, yaitu Wiayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan terdapat unsur-unsur yang meliputi :
a.    Suatu wilayah tertentu
b.    Terdapat hutan / tidak terdapat Hutan.
c.    Ditetapkan pemerintah ( Menteri) sebagai Kawasan Hutan.
d.    Didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat.
Dari unsur pokok yang terkandung didalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, kemudian untuk menjamin diperolehnya  manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi, dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai Kawasan Hutan  adalah 30% dari Luas daratan.
Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan, maka sesuai dengan peruntukkannya menteri menetapkan kawasan hutan menjadi :
a.    Wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap.
b.    Wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap.
Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-sungsinya dengan kriteria  dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No.34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang diatur dan tertuang dalam Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut ;
a.    Kawasan Hutan konservasi yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam ( Cagar alam dan Suaka Margasatwa ), Kawasan Pelestarian Alam ( Taman Nasional, Taman Hutan raya. Serta Taman Wisata Alam) dan Taman Buru.
b.    Hutan Lindung
c.    Hutan Produksi

·           Pengertian Valuasi
Valuasi berasal dari kata “ Value “  ( Nilai ), yang erat  kaitannya dengan Harga dan/atau Potensi Ekonomi yang ada dalam Kawasan Hutan, secara sederhana pengertian Valuasi adalah  Nilai seharusnya dari Potensi yang ada di Kawasan Hutan.
·         Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekosistemnya
Adanya perkembangan orientasi kebijakan politik Nasional era reformasi di seluruh aspek pembangunan yang ditandai dengan terbitnya UU No. 22  tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2006 tentang Otonomi Daerah yang berintikan “mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan pembangunan tetap dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” sehingga masyarakat daerah dapat merasakan langsung, serta agar memenuhi kriteria; eksternalitas, effisiensi dan akuntabilitas melalui pelaksanaan desentralisasi yang berimplikasi pada adanya pelimpahan sebagian urusan dan wewenang dari Departemen Kehutanan pada Daerah Otonom Kabupaten Kota, dimana Propinsi sebagai fasilitator dan Koordinatornya. Orientasi kebijakan nasional tersebut pada prinsipnya tidak mengubah peran Pemerintah melalui Departemen Kehutanan dalam pengurusan hutan sesuai mandat UU, yaitu; tetap mengacu pada 3 (tiga) prinsip :
1.  Prinsip keutuhan (holistic) aspek pengurusan hutan dalam arti harus mempertimbangkan aspek perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian pengembangan (IPTEK), pendidikan latihan dan penyuluhan kehutanan (Human capital) dan aspek  Pengawasan sebagai suatu kesatuan acuan dan dengan mempertimbangkan keadaan dan potensi seluruh komponen pembentuk hutan (hayati dan non hayati); kawasan lingkungannya (bio-fisik, ekonomi, politik dan sosial budaya masyarakat) sebagai satu kesatuan ekosistem, serta memperhatikan dan mengarahkan fungsi dan manfaat hutan baik kuantitas dan kualitas  yang berkelanjutan;
2.  Prinsip Keterpaduan, dalam arti berlandaskan pada hubungan keterkaitan antara komponen-komponen pembentuk ekosistem hutan dengan para fihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap hutan (Multi sektoral), mencakup; aspek lingkungan, ekonomi dan sosial budaya;
3.  Prinsip berkelanjutan, dalam arti secara kualitas dan kuantitas fungsi dan manfaat ekosistem hutan dalam segala bentuknya (barang dan jasa) harus terjaga (mewaris) antar generasi, sehingga sebagai konsekuensi logis yang tidak mungkin terhindarkan, berupa kenyataan akan terus berkurangnya luas hutan di masa mendatang, maka dalam implementasi penyelenggaraan aspek pengurusan    diperlukan dukungan  IPTEK yang ramah lingkungan (minimal eksternalitas negatif), peningkatan kualitas manusia pendukung penyelenggaraan pengurusan hutan melalui upaya pendidikan, latihan dan penyuluhan dan yang terakhir tak kalah pentingnya adalah berjalannya Pengawasan agar penyelenggaraan pengurusan hutan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Khusus terkait dengan penguatan penyelenggaraan Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Lestari dalam era desentralisasi/otonomi, dimana pada saat yang bersamaan dihapuskannya GBHN sebagai acuan pembangunan Nasional, maka keharusan adanya dukungan syarat pemungkin (enabling condition) berupa kejelasan mekanisme kelola (rule) melalui kejelasan pembagian peran-kewenangan/urusan pengelolaan sumberdaya hutan antar Pemerintah dengan Daerah Otonom (role, risk dan revenue sharing), antar Pemerintah dengan fihak Swasta-Masyarakat (civil society) agar tujuan kelestarian kuwalitas dan kuantitas fungsi dan manfaat  antar generasi tetap terjaga menjadi semakin strategis.
Syarat harus dan prinsip  yang dijadikan basis pemikiran dan pertimbangan dalam perencanaan dan pengelolaan hutan sebagaimana tersebut di atas, menjadi semakin strategis, karena dengan terbitnya peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang perencanaan pembangunan nasional, diantaranya UU No. 25 Tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang dijelaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah seperti, ( PP No. 20 Tahun 2004, PP No. 39 Tahun 2006 dan PP No. 40 Tahun 2006,)  maka sudah menjadi keharusan Departemen Kehutanan sebagai bagian integral pembangunan nasional melakukan integrasi perencanaan yang berbasis substansi yang merupakan jabaran dari mandat Bab IV dari UU no.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Pemerintah, antara lain PP No. 44 Tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan dan PP 6 tahun 2007  tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, Permenhut Nomor P. 27/Menhut-II/2006, tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan (RPJPK) Tahun 2006-2025, Permenhut Nomor P.28/Menhut-II/2006 tentang Sistem Perencanaan Kehutanan.
RPJP Kehutanan Tahun 2006-2025 yang telah ada tersebut  disusun untuk tingkat nasional dan dijadikan acuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kehutanan, di setiap tingkat pemerintahan mulai tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta menjadi acuan bagi rencana-rencana makro kegiatan pembangunan kehutanan lainnya. Walaupun berskala nasional, dalam penyusunannya RPJP Kehutanan Tahun 2006-2025 tersebut lebih mengacu pada UU No.25 tahun 2004, sehingga ditinjau dari substansi dirasakan para pihak masih perlu lebih disempurnakan agar memenuhi kualifikasi/kriteria dalam fungsinya sebagai  Rencana Kehutanan (Pengurusan Hutan) Tingkat Nasional sesuai amanat PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan, dimana bab II bagian 8 pasal 34 dalam PP No.44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan dan pasal 15 ayat 3 dalam PP No. 6 tahun 2007 mengamanatkan untuk melaksanakan penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional yang mencakup seluruh fungsi (dan manfaat) kawasan hutan ( hutan negara, hutan adat dalam hutan negara dan hutan milik ). Penetapan Rencana Kehutanan Tingkat Nasional berperan sebagai acuan, disusun dan diterbitkannya rencana-rencana kehutanan lain di bawahnya antara lain, Rencana Investasi, Rencana Kerja Usaha di bidang pengusahan hutan serta Rencana Pembangunan dalam berbagai skala geografis, jangka waktu dan fungsi-fungsi pokok kawasan hutan.
Mempertimbangkan pelbagai hal tersebut diatas dan mengacu pada Instruksi Menteri Kehutanan Nomor INS.1/Menhut-II/2008, maka perlu adanya percepatan penyusunan Dokumen RKTN yang mampu memberikan arahan dan acuan bagi berbagai pihak dalam mewujudkan pengurusan hutan sesuai daya dukung fungsi dan manfaat secara lestari dan berkeadilan.
Maksud penyusunan dokumen RKTN  adalah untuk memberikan landasan, arah dan panduan dalam mewujudkan visi pembangunan kehutanan nasional, yaitu kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat sekaligus mewujudkan fungsi hutan sebagai sistem penyangga ekosistem kehidupan dan lingkungan global secara lintas generasi melalui sistem dan praktik penyelenggaraan kehutanan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.




Tujuan penyusunan dokumen RKTN adalah meliputi :
1.  Memberikan arah pengurusan SDH (Sumber Daya Hutan) ke depan sesuai dinamika pembangunan kehutanan nasional.
1.  Memberikan acuan bagi pencapaian visi pembangunan kehutanan nasional, yaitu terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanat konstitusi negara.
2.  Memberikan landasan bagi penguatan kelembagaan dan peran SDM kehutanan dalam pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.  Memberikan panduan bagi upaya akomodasi sinergitas pembangunan wilayah serta pengembangan berbagai sektor di luar kehutanan berbasis lahan hutan dengan tetap mengedepankan kaidah ekosistem dan daya dukung lingkungan berbasis DAS.
4.  Memberikan pedoman dalam rangka program revitalisasi sektor kehutanan hulu maupun hilir berbasis ekosistem melalui identifikasi kondisi pemungkin dan arahan kebijakan  guna terwujudnya target investasi, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan masyarakat desa hutan.
5.  Memberikan arahan bagi terciptanya kepastian hukum dan keamanan berusaha bagi semua pihak melalui perwujudan kepastian kawasan.
6.  Memberikan acuan bagi upaya akomodasi  kebutuhan dan itas global terhadap SDH Indonesia dengan tetap mengedepankan terwujudnya kepentingan  dan kedaulatan NKRI secara lintas generasi.
7.  Memberikan landasan  pembangunan keberadaan dan peran SDH di masa depan dalam upaya mendukung terwujudnya ketahanan pangan, ketersediaan energi terbaharukan dan kesinambungan ketersediaan sumber daya air.
Dokumen RKTN disusun berdasarkan identifikasi kepentingan sektor kehutanan dilihat dari sudut paling ( adaptif, aplikatif, akomodatif dan realistis ) yaitu terpeliharanya multi fungsi hutan secara lestari dalam bingkai pembangunan nasional berkelanjutan serta keseimbangan ekosistem global secara lintas generasi. Dari sisi materi mencakup seluruh aspek pengurusan hutan yang meliputi perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, Litbang dan Diklatluh serta pengawasan pada seluruh fungsi pokok hutan. Baik hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi.
Pendekatan berbasis identifikasi proyeksi masa depan sektor kehutanan dimulai dari identifikasi isu-isu strategis yang menggambarkan kesenjangan (gaps) antara titik masa depan yang ingin dicapai (target) dengan kondisi saat ini (existing condition) sebagaimana tercermin dari permasalahan dan tantangan. Penyusunan dokumen RKTN bekerja dari titik masa depan untuk dapat menentukan tindakan apa yang harus dilakukan dalam bentuk arah kebijakan atau strategi aksi. Upaya mengidentifikasi kemungkinan terlaksananya target sekaligus juga untuk mengetahui implikasi dari arah kebijakan-kebijakan (scenario) disusun dalam bentuk kondisi pemungkin (enabling condition).
Dengan mengedepankan arah kebijakan atau strategi aksi diharapkan RKTN dapat menangkap dan mengakomodasi kemungkinan perubahan serta memecahkan masalah sekaligus mengatasi tantangan yang dihadapi oleh sektor kehunanan di masa depan. Namun demikian agar kebijakan menjadi fokus dan terarah akan diprioritaskan sesuai kemampuan implementasi dan yang mungkin dapat menyelesaikan permasalahan kehutanan. Dengan demikian dokumen RKTN ini merupakan dasar atau landasan yang akan memberi arah dan menjadi panduan bagi pengurusan hutan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar